Al-Qur’an sebagai teks sangat terbuka terhadap beragam pemaknaan dan penafsiran. Bagi sebagian mufasirin menafsirkan al-Qur’an berarti mengikuti makna literal dari bahasa al-Qur’an, sebagian lagi menafsirkannya dengan mengorek lebih jauh makna semantik dan hermeneutis dari ayat tersebut dengan mengaitkan konteks yang mengitari al-Qur’an pada abad ke 7.
Muhammad Shahrur adalah seorang mufasir kelahiran Syria pantas digolongkan sebagai penafsir yang berhaluan kedua. Beberapa karyanya mengundang kontroversi di dunia Islam, sehingga di beberapa negara Islam, kitab karangannya dilarang beredar. Beberapa kalangan yang antipati terhadapnya mengatakan bahwa karya Shahrur: Al-Kitab wa al-Qur’an Qira’ah al-Mu’ashirah lebih berbahaya dari karya sastra Salman Rusydi The Satanic Verses. Sebaliknya, bagi kalangan yang memujanya tak canggung menyejajarkan Shahrur dengan filosof Imanuel Kant dan disebut sebagai Martin Luthernya umat Islam. Sayang sekali, karena pemikirannya yang melenceng dari mainstream, ia dikenai tuduhan sebagai agen zionis yang akan
menghancurkan Islam. Hal itu lazim terjadi sebagai hadiah umat untuk penafsir yang ‘mau berbeda’.
menghancurkan Islam. Hal itu lazim terjadi sebagai hadiah umat untuk penafsir yang ‘mau berbeda’.
Cerita yang sama juga menimpa tokoh-tokoh mujadid lainnya, seperti Fazlurrahman yang terusir dari tanah ibunya Pakistan, karena perkara halal-haram riba bank; Nasr Abu Zaid juga mendapat timpukan bertubi-tubi, bahkan ancaman nyawa yang mengkhawatirkan, karena penafsirannya dan menjadikan al-Qur’an sedemikian profan. Masih banyak tokoh yang mengalami nasib serupa termasuk:Nawal El Sadawi, Talisma Nasrin, Ulil Absar Abdallah,Farid Esack, Abed Al-Jabiri. Shahrur masih tergolong cukup beruntung dinegerinya sendiri yang masih memafhumi isi pikirannya. Dibanding para pendahulunya yang terusir dari negerinya sendiri dan terpaksa melarikan diri hijrah ke ‘negara sekular’. Hal ini tidak terlepas dari kancah perkembangan pemikiran keagamaan di Syiria—tempat di mana Shahrur dilahirkan—adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Seperti umumnya yang dialami negara-negara Timur Tengah, Syria juga pernah menghadapi problema modernitas, khususnya benturan keagamaan dengan gerakan modernisasi Barat. Problema ini muncul karena di samping Syria pernah diinvasi oleh Perancis, juga dampak dari gerakan modernisasi Turki, hal mana Syria pernah menjadi region dari dinasti Usmaniyyah (di Turki).
Problema ini pada gilirannya, memunculkan tokoh-tokoh semisal Jamal al-Din al-Qasimi (1866-1914) dan Thahir al-Jaza`iri (1852-1920) yang berusaha menggalakkan reformasi keagamaan di Syria. Reformasi al-Qasimi—bekas muridMuhammad `Abduh (1849-1905; tokoh pembaharu di Mesir)—berorientasi pada pembentengan umat Islam dari kecenderungan Tanzimat yang sekuler dan penggugahan intelektual Islam dari ortodoksi. Untuk itu, umat Islam harus dapat meramu rasionalitas, kemajuan, dan modernitas dalam bingkai agama. Dalam hal ini, al-Qasimi mencanangkan untuk menemukan kembali makna Islam yang orisinal dalam al-Qur`an dan al-Sunnah sembari menekankan ijtihad.
Gagasan al-Qasimi ini selanjutnya diteruskan oleh Thahir al-Jaza`iri beserta teman-temannya, dan kali ini gagasannya lebih mengarah kepada upaya pemajuan di bidang pendidikan. Dari situlah kemudian akan terlihat bahwa iklim berintelektual di Syria, setingkat lebih “maju” ketimbang negara-negara Muslim Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum Islam positif secara kaku, terutama dalam hal kebebasan berekspresi. Angin segar bagi tumbuhnya suatu imperium pemikiran di negara Syria, lebih nyata dan menjanjikan ketimbang di negara-negara Arab lainnya. Sehingga lantaran itu pulalah mengapa orang-orang `liberal` seperti Shahrur dapat dengan leluasa `bernafas` di Syria setelah menelorkan ide-ide kreatifnya yang bagi banyak negara Muslim lainnya menjadi sangat forbidden, unlawful.
Muhammad Shahrur lahir di Damaskus, Syria, pada 11 Maret 1938. Sekolah dasar dan menengahnya ditempuh di kota kelahirannya pada lembaga pendidikan `Abd al-Rahman al-Kawakibi, hingga tamat pada 1957. Pada 1957 itu juga ia memperoleh beasiswa pemerintah untuk studi ilmu teknik di Moskow, dan berhasil menyelesaikannya pada 1964. Tahun berikutnya, ia bekerja sebagai dosen pada fakultas teknik Universitas Damaskus. Kemudian oleh fihak universitas, ia dikirim ke Irlandia untuk studi `pascasarjana` dalam spesialisasi mekanika tanah dan teknik fondasi pada Ireland National University. Gelar Master of Science diperoleh pada 1969, dan gelar Doktor pada 1972. Shahrur, hingga sekarang, masih tetap tercatat sebagai tenaga edukatif pada fakultas teknik sipil Universitas Damaskus tersebut dalam bidang mekanika tanah dan geologi.
Namun, Shahrur yang berlatar belakang teknik, ternyata meminati juga secara mendalam masalah-masalah keislaman. Hal ini sebagaimana diwujudkannya dalam Al-Kitab wa al-Qur`an. Buku inilah sebenarnya yang telah membuat namanya melejit dalam kancah blantika pemikiran. Renungan dalam buku ini ternyata tidak tanggung-tanggung, sebab ditulisnya waktu yang cukup lama, 20 tahun! Di bidang spesialisasinya sendiri, Shahrur sebetulnya juga termasuk menonjol, khususnya di negaranya sendiri, sebab pada 1972, bersama rekan-rekannya, ia membuka biro konsultasi teknik Dar al-Istisyarat al-Handasiyah di Damaskus, dan kemudian pada 1982-1983 kembali fihak universitas mengirimnya ke luar negeri sebagai tenaga ahli pada Al-Saud Consult, Saudi Arabia.
Shahrur juga menguasai bahasa Inggris dan Rusia. Namun, secara garis besar, karya-karya Shahrur diantaranya Al-Handasah al-Asasiyyah (3 Volume) dan Al-Handasah al-Turabiyyah 2. Bidang keislaman (semuanya diterbitkan olehAl-Ahali li al-Tiba`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi`, Damaskus): Al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu`ashirah (1990), Dirasah Islamiyyah Mu`ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama` (1994),Al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996), danMasyru` Mitsaq al-`Amal al-Islami (1999).
Di samping itu, Shahrur juga kerap menyumbangkan buah-pikirannya lewat artikel-artikel dalam seminar atau media publikasi, seperti “The Divine Text and Pluralism in Muslim Societies”, dalam, Muslim Politics Report, 14 (1997), dan “Islam and the 1995 Beijing World Conference on Woman”, dalam, Kuwaiti Newspaper, dan kemudian dipublikasikan juga dalam, Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford: Oxford University Press, 1998).
Shahrur, dalam menelorkan ide-idenya, khususnya terkait dengan masalah keislaman, latar belakang sosiologis yang mengitarinya. Ide-idenya muncul setelah secara sadar mengamati perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman kontemporer. Didasarkan atas teori bahwa kebenaran ilmiah sifatnya tentatif, Shahrur lalu mencoba mengelaborasi kelemahan-kelemahan dunia Islam dewasa ini. Menurutnya, pemikiran Islam kontemporer memiliki problema-problema:pertama, Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang obyektif, khususnya terkait dengan kajian Nash (ayat-ayat al-Kitab) yang diwahyukan kepada Muhammad. Kedua, Kajian-kajian keislaman yang ada seringkali bertolak dari perspektif-perspektif lama yang dianggap sudah mapan, yang terperangkap dalam kungkungan subyektifitas, bukan obyektifitas. Kajian-kajian itu tidak menghasilkan sesuatu yang baru, melainkan hanya semakin memperkuat asumsi yang dianutnya. Ketiga, Tidak dimanfaatkannya filsafat humaniora, lantaran umat Islam selama ini masih mencurigai pemikiran Yunani (Barat) sebagai keliru dan sesat. Keempat,Tidak adanya epistemologi Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan indoktrinasi mazhab-mazhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad-abad silam, sehingga pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang. Kelima, Produk-produk fiqh yang ada sekarang (al-fuqaha` al-khamsah) sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas. Yang diperlukan adalah formulasi fiqh baru. Kegelisahan semacam ini sebetulnya sudah muncul dari para kritikus, Tapi, umumnya hanya berhenti pada kritik tanpa menawarkan alternatif baru.
Di tempat lain, Shahrur mengatakan, kajian-kajian keislaman yang ada sering melupakan dimensi universalitasnya (shalih li kull zaman wa makan). Indikasinya, konstruksi fiqh selalu berada pada posisi keberpihakan; bahwa saya sajalah yang paling benar. Formulasi fiqh seperti ini menghalangi umat Islam sendiri dari prinsip dasar syariah, yaitu keberadaan Muhammad sebagai Rasul untuk semua manusia, dan risalahnya tetap layak dan relevan untuk segala zaman dan tempat. Karakter fiqh yang sering dilupakan ini menurut Shahrur adalah hanifiyyah (elastisitas, perubahan). Celakanya, “kesalahan” ini dilegalkan dengan klaim “pintu ijtihad telah tertutup dalam teks yang qath`i dan sharih”. Bagi Shahrur:
Andaikata Islam itu cocok dan relevan untuk segala tempat dan waktu, niscaya setiap orang harus mengakui bahwa al-Kitab (al-Qur`an dalam pengertian umum, pen. itu diturunkan kepada kita yang lahir pada paruh kedua abad ke-20 ini, dan seolah-olah Nabi saw baru saja meninggal dan telah menyampaikannya pada kita.
Karena itulah Shahrur sangat bersikeras bahwa tiap-tiap generasi mampu memberikan interpretasi al-Qur`an yang memancar dari realitas yang muncul dan sesuai dengan kondisi di mana mereka hidup. Hasil interpretasi al-Qur`an generasi awal tidaklah mengikat masyarakat Muslim modern. Bahkan lebih jauh, kesalahan utama fiqh Islam dan tafsir al-Qur`an konvensional sekarang ini bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks Kitab Suci, sehingga membebani punggung umat dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi dan kondisi abad ke-20.
Shahrur yakin bahwa Muslim modern, karena kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan mempunyai perangkat pemahaman metodologis yang lebih baik dibandingkan para pendahulunya (abad ke-7 M) dalam memahami pesan-pesan Allah (al-Qur`an) yang disampaikan kepada Rasul-Nya. Sebagai konsekuensi dari keyakinan ini, Shahrur, ketika menerapkan model pembacaan al-Qur`annya, memilih kamus Maqayis al-Lughah-nya Ibn Faris—pakar ilmu modern (linguistik)—sebagai referensi utama dalam mencari perbedaan makna kata-kata yang dikajinya.
Sebenarnya tidak ada sesuatu yang baru dalam Hermeneutika Shahrur, ungkap Nasr Abu Zaid dalam pengantar buku Hermeneutika al-Qur’an, (terjemahan dariAl-Kitab wa al-Qur’an, Qira’ah Mu’ashirah) karena memang secara semantis hermenetis metodologi pembacaan Shahrur telah ditemukan oleh pendahulunya, tetapi bagi saya ada sesuatu yang baru dalam pembacaan teks ala Shahrur. Misalnya dalam mengkritisi matan hadis beliau tidak sungkan-sungkan menggunakan ilmu statistik, fisika, matematika. Ia telah keluar dari pembacaan ala konvensional yang telah terumus dalam jarh wa ta’dil atau koridor ulum al-hadis.
Pendirian shahrur tentang epistimologi pengetahuan seperti dalam ungkapannya… sesungguhnya sumber pengetahuan manusia adalah alam materi yang berada di luar eksistensi manusia itu sendiri. Artinya, pengetahuan yang sesungguhnya tidak bersifat khayalan, tidak merupakan abstraksi dari gambaran-gambaran purbasangka, tetapi hal-hal yang sesuai dengan realitas, sebab wujud segala sesuatu yang berada di luar kesadaran manusia itu adalah kunci kebenarannya.
Karena kebenaran dalam pandangan Shahrur adalah kebenaran yang sesuai dengan realitas empirik yang berada di luar eksistensi manusia, maka pengetahuan manusia tidaklah independen sebagaimana yang ada dalam persepsi pikiran yang tidak sesuai dengan realitas. Menurut Shahrur, pemahaman seperti ini memperoleh justifikasi dari Q.S. al-Nahl: 78. Dengan landasan ini pula, maka kajian filsafat Islam kontemporer harus didasarkan pada pengetahuan rasional ilmiah sebagai hasil dari cerapan inderawi (empiris; pendengaran dan penglihatan) manusia dalam rangka memperoleh pengetahuan teoretis murni (al-ma`rifah al-nadzriyyah al-mujarradah). Shahrur tidak mengakui keunggulan pengetahuan intuitif (isyraqiyyah-ilhamiyyah) yang dianut oleh ahl al-kasyf atau ahl Allah, sebab realitas obyektif bagi Shahrur, adalah kebenaran yang sesuai dengan realitas empirik.
Dengan demikian, pengetahuan yang dihasilkan manusia, berawal dari proses berpikir yang dibatasi oleh cerapan inderawi, lalu meningkat pada pikiran yang abstrak. Titik pengetahuan manusia adalah alam inderawi yang tidak lain adalah alam material yang kemudian meluas hingga mencakup apa saja yang diketahui oleh manusia melalui akalnya. Konsepsi Shahrur tentang ini pada gilirannya berimplikasi pada keyakinan bahwa al-Qur`an tidak bertentangan dengan filsafat yang merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Allah sangat menjunjung kedudukan akal manusia, dan karenanya tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal, serta tidak ada pertentangan antara wahyu dan realitas. Dari sini pun Shahrur meyakini bahwa semua yang terkandung dalam wahyu itu menerima pemahaman yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan manusia.
Adapun terhadap alam syahadah atau alam ghaib, pada dasarnya adalah bersifat materi. Alam syahadah adalah materi yang mampu diketahui manusia melalui inderanya dan kemudian mentransformasikannya ke dalam nalar rasionalitasnya, sedang alam ghaib adalah alam materi yang belum mampu diketahui manusia karena tingkat perkembangan keilmuan yang belum mampu menggapainya. Singkatnya, pengetahuan dalam pandangan Shahrur hanya dapat diperoleh jika didasarkan atas materialitas, realitas empirik, dan bukan melalui tradisi mistik. Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa epistemologi pengetahuan Shahrur dapat digolongkan ke dalam materialisme-empiris.
Sketsa epistemologis di atas mengesankan bahwa betapa Shahrur sebagai seorang saintis, tipikal keilmuannya yang mengedepankan sifat-sifat empirik, rasional, dan ilmiah sangat kental mewarnai landasan metodologisnya. Hal ini pulalah yang kemudian menjadi pijakan teoretiknya dalam mengkaji teks suci al-Qur`an. Metode dan pendekatan yang digunakan Shahrur dalam mengkaji al-Qur`an secara umum didasarkan atas teori-teori yang terdapat dalam filsafat bahasa (linguistik). Tentu saja, ini berawal dari pertemuan Shahrur dengan Ja`far Dik al-Bab yang kemudian memperkenalkan formulasi lingusitik Abu `Ali al-Farisi. Dalam formulasi ini, terangkum dua dasar teoretis dari dua soko-guru utama: Pertama, Teori linguistik Ibn Jinni dalam Khashaish-nya, dan Kedua, Teori linguistik Imam Jurjani dalam Dala`il al-I`jaz. Linguistik Ibn Jinni didasarkan atas teori-teori: a. Adanya struktur bahasa atau kalimat, termasuk suara sebagai sumber bahasa, b. Bahasa tidak tercipta dalam satu waktu melainkan berkembang secara evolutif, c. Bahasa senantiasa mengikuti sistematika atau aturan strukturnya, dan d. Perpautan antara bahasa, suara, dengan kondisi psikologis penggunanya. Sedang teori-teori linguistik dari Imam Jurjani, antara lain: a. Struktur bahasa dan fungsi transmisinya, dan b. Keterkaitan antara bahasa dengan pemikiran.
Bila kedua akumulasi teori ini dikombinasikan, hasilnya adalah: a. Bahasa mempunyai struktur, b. Bahasa merupakan penampakan fenomena sosial, dan c. Keterkaitan antara bahasa dan pemikiran. Tetapi, formulasi linguistik seperti ini semata belum cukup bagi Shahrur untuk menopang pemikirannya dalam mengkaji teks-teks al-Qur`an. Karena itu, sebagaimana juga memperoleh dukungan dari Mu`jam Maqayis al-Lughah-nya al-Farisi, yang notabene adalah teori yang berasal dari al-Farisi sendiri yang diajarkan oleh gurunya Tsa`lab, Shahrur menemukan asumsi dasarnya yaitu bahwa dalam bahasa Arab tidak ditemukan adanya sinonim (muradif). Dari situlah kemudian Shahrur membuat pembatasan kaedah dasar-dasar metodologi linguistiknya:
Pertama, dalam bahasa tidak ada sinonim, bahkan boleh jadi dalam satu kata memiliki makna yang banyak. Apa yang yang selama ini diyakini sebagai sinonim tidak lebih dari sebuah kepalsuan atau muslihat (khud`ah). Kedua, Kata adalah ekspresi dari makna, Ketiga, Yang paling penting dari bahasa adalah makna. Keempat, Bahasa apa pun tidak akan dapat dipahami bila tidak ditemukan adanya kesesuaian bahasa itu dengan rasio dan realitas obyektif.
Dengan dasar metodologis seperti ini, Shahrur lalu mengkaji makna-makna yang terkandung dalam teks (ayat-ayat) al-Qur`an melalui metode yang disebutnya dengan tartil. Perangkat metode ini menurutnya, memperoleh justifikasi dari Q.S. al-Muzammil: 4 (…Dan bacalah al-Qur`an itu secara tartil). Berbeda dari ulama pada umumnya yang menafsirkan tartil dengan membaca (tilawah), tartil, yang berasal dari akar kata al-ratl yang artinya “barisan pada urutan tertentu”, ditafsirkan Shahrur dengan “mengambil ayat-ayat yang berkaitan dengan satu topik dan mengurutkan sebagiannya di belakang sebagian yang lain”. Metode ini bagi Shahrur, perlu dilakukan sebab banyak topik tertentu seperti penciptaan alam, penciptaan manusia, dan kisah para Nabi, disebutkan dalam al-Qur`an secara berserakan di berbagai surat. Maka agar memperoleh gambaran komprehensif dan afirmatif tentang suatu topik, ayat-ayat berserakan itu harus dipertemukan.
Selanjutnya, dalam mempertemukan ayat-ayat yang mungkin berserakan itu, dengan didasarkan bahwa kata adalah ekspresi dari makna, dan yang terpenting dari suatu bahasa adalah maknanya, maka Shahrur menggunakan pendekatan semantik dengan analisa paradigmatis dan sintagmatis. Semantik adalah “ilmu yang berhubungan dengan fenomena Makna dalam pengertian yang paling luas dari kata. Sedemikian luas, hingga hampir apa saja yang mungkin dianggap mempunyai makna dapat dinyatakan sebagai obyek semantik”. Makna dalam pengertian ini dilengkapi dengan persoalan-persoalan penting para pemikir dari berbagai latar belakang keilmuan seperti sosiologi, antropologi, psikologi, logika simbolik, matematik, rekayasa elektronik, dan lain-lain. Di samping itu sebagai studi makna, semantik senantiasa berkembang. Semantik Shahrur, dalam kaitan ini, tentu saja ditopang dan dikembangkan sesuai dengan minat, kecenderungan, dan latar belakang keilmuannya sendiri.
Adapun analisa paradigmatis yang dimaksud ialah suatu analisa pencarian dan pemahaman terhadap sebuah konsep (makna) suatu simbol (kata) dengan cara mengaitkannya dengan konsep-konsep dari simbol-simbol lain yang mendekati dan yang berlawanan. Sedangkan analisa sintagmatis adalah analisa yang bertujuan untuk menentukan mana makna yang paling tepat di antara makna-makna yang ada, di mana setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya. Dalam meramu semantik dengan dua model analisanya ini Shahrur kerap kali menggunakan metafora dan analogi yang diambilnya dari bidang keahlian dasarnya, ilmu teknik dan sains, terutama sekali adalah penggunaan analisa matematik (al-tahlili al-riyadhi) dan fisika.
Dengan kerangka metodologis Shahrur tersebut di atas, Shahrur memformulasikan teori baru dalam membaca al-Qur`an. Sebelumnya perlu dikemukakan dahulu konsepsinya tentang peristilahan di seputar al-Qur`an itu sendiri. Al-Qur`an, pada umumnya didefinisikan sebagai “Kalam Allah yang bermukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, ditulis dalam mushaf-mushaf, disampaikan secara mutawatir, dan membacanya dianggap ibadah”. Al-Qur`an dipahami memiliki beberapa nama yang sesuai dengan `watak` yang dibawakannya. Umpamanya, disebut al-Qur`an lantaran ia adalah bacaan yang mulia; dinamakan al-Furqan karena fungsinya adalah sebagai pembeda (benar-salah, kafir-mukmin, dll.); dan disebut al-Kitab karena merupakan kumpulan huruf-huruf yang memuat banyak hal (kisah, berita, hukum, dan lainnya). Terhadap formulasi-formulasi seperti ini, Shahrur mempunyai konsepsi yang sama sekali berbeda.
Bagi Shahrur, term al-Qur`an, al-Kitab, al-Furqan, al-Zikr, dan istilah lainnya memiliki arti sendiri-sendiri. Mushaf Usmani yang selama ini populer dengan sebutan al-Qur`an, oleh Shahrur disebut dengan al-Kitab. Term al-Kitab berasal dari akar kataba, artinya mengumpulkan beberapa hal satu sama lain dengan tujuan untuk memperoleh satu makna yang berfaedah atau untuk memperoleh satu topik tertentu guna mendapatkan satu pemahaman yang sempurna. Bila muncul dalam bentuk ma`rifah (al-Kitab), berarti “kumpulan dari berbagai topik yang diwahyukan Allah kepada Muhammad saw dalam bentuk teks (nash), dan ayat-ayat mushaf yang tersusun dalam kumpulan itu dari awal surah al-Fatihah hingga akhir surah al-Nas. Sedangkan al-Qur`an hanya merupakan bagian dari mushaf, yang merupakan kumpulan sistem peraturan obyektif bagi eksistensi dan realitas perilaku dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan. Adapun al-Zikr adalah proses terjadinya al-Qur`an (dari Lauh Mahfudz) ke bentuk bahasa manusia yang diucapkan dalam bahasa Arab, sedang al-Furqan adalah Sepuluh Perintah (The Ten Commandments). Definisi-defenisi seperti ini diperoleh setelah Shahrur melakukan kajian semantik dengan analisa paradigmo-sintagmatisnya.
Dalam membaca al-Qur`an (al-Qur`an dalam pengertian umum) tersebut, Shahrur membedakan antara realitas obyektif (al-haqiqah al-maudhu`i) dan realitas subyektif (al-haqiqah al-dzatiyyah). Realitas obyektif adalah hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia sehingga harus diterima begitu saja tanpa bisa dibantah dan dirubah, sedangkan realitas subyektif adalah hal-hal yang bersifat memberikan alternasi-alternasi. Dalam kaitan ini, Shahrur membedakan antara al-Qur`an dan umm al-Kitab. Al-Qur`an berusaha untuk membedakan yang haq dan bathil sedangkan umm al-Kitab berusaha untuk membedakan antara yang halal dan yang haram. Dengan demikian, al-Qur`an bersifat obyektif, sedangkan umm al-Kitab bersifat subyektif.
Al-Qur`an dalam pemahaman Shahrur direpresentasikan oleh al-nubuwwah, sementara umm al-Kitab direpresentasikan oleh al-risalah. Konsep al-nubuwwah, dengan demikian, berusaha untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil, sedangkan al-risalah berupaya untuk membedakan antara yang halal dan yang haram, sebab ia hanyalah merupakan norma-norma perilaku yang boleh dikerjakan atau juga ditinggalkan.
Shahrur dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh epistemologi pengetahuannya yang realistik-empirik; bahwa realitas obyektif dan seluruh tatanannya merupakan realitas yang berada di luar kesadaran dan kemampuan manusia. Matahari adalah realitas, diterima atau pun tidak, diketahui atau pun tidak, sehingga dikatakan bahwa realitas matahari adalah sesuatu yang haq. Demikian pula halnya dengan kematian, hari kiamat, dan kebangkitan, dan hal-hal obyektif lainnya. Al-Qur`an juga adalah realitas obyektif yang berada di luar kesadaran manusia. Ada pun cara untuk mengetahui realitas obyektif ini menurut Shahrur, adalah dengan mengikuti kaidah-kaidah pembahasan ilmiah obyektif, terutama, filsafat, kosmologi, fisika, kimia, biologi, sejarah, dan ilmu-ilmu obyektif serta ilmu alam yang lain. Sementara al-risalah, bagi Shahrur, adalah bersifat subyektif, dalam arti bahwa manusia masih berhak dan mampu untuk melakukan pilihan. Umpamanya, perintah agar melakukan shalat, zakat, dan haji, masih memunculkan kemungkinan untuk memilihnya, bisa diterima atau malah dilanggar. Sehingga demikian ini tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang haq, yang berarti ia bersifat subyektif. Dalam kerangka teoretik seperti itulah Shahrur lalu membedakan kedudukan antara Muhammad sebagai seorang nabi yang membawa konsep nubuwwah dan Muhammad sebagai musyarri` yang membawa konsep risalah.
Konsekwensi dari metodologi dan cara pembacaan al-Qur’an model Shahrur telah membuahkan teori batas (hudud). Terma hudud ini sangat berarti untuk memberikan jalan kepada kebuntuan perkembangan Ushul Fiqih. Ia menjelaskan bahwa dalam hukum tuhan terdapat batas-batas yang telah di tetapkan, yakni antara batas minimal dan batas maksimum(al-hadd al-a`lâ). Artinya, hukum-hukum Allah diposisikan bersifat elastis, sepanjang tetap berada di antara batas minimum dan maksimum yang telah ditentukan. Wilayah ijitihad manusia, menurut Syahrur berada di antara batas minimum dan maksimum itu tadi. Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah tadi dapat digambarkan seperti posisi pemain bola yang bebas bermain bola, asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi seorang muslim masih berada dalam wilayah hudûd-u-lLâh(ketentuan Allah antara batas minimum dan maksimum tadi), maka dia tidak dapat dianggap keluar dari hukum Allah. Contohnya: ketentuan potong tangan bagi pencuri (Q.S. al-Mâ’idah: 38).
Menurut Syahrur, potong tangan merupakan sanksi maksimum (al-hadd al-a`lâ) bagi seorang pencuri. Batas minimumnya adalah dimaafkan (Q.S. al-Mâ’idah: 34). Dari sini Syahrur berkesimpulan, seorang hakim dapat melakukan ijtihad dengan memperhatikan kondisi objektif si pencuri. Sang hakim tidak perlu serta merta harus memberi sanksi potong tangan dengan dalih menegakkan syariat, tapi dapat berijtihad di antara batasan maksimum dan minimum tadi, misalnya dengan sanksi penjara. Kalau kasus yang dihadapi adalah pejabat yang korup, sanksi dipecat dari jabatannya juga masih berada dalam dua batasan tadi. Syahrur beralasan, esensi sebuah sanksi hukum adalah membuat jera (kapok) si pelanggar hukum. Oleh sebab itu, negara atau pemerintahan yang tidak atau belum menerapkan sanksi potong tangan, rajam, qisas, dan beberapa sanksi hukum yang tertera di dalam Alquran maupun hadis, tidak bisa diklaim sebagai negara atau pemerintahan yang kafir sebagaimana tuduhan kalangan fundamentalis.
Dalam kasus pakaian perempuan (libâs al-mar’ah), Syahrur berpendapat bahwa batas minimum pakaian perempuan adalahsatr al-juyûb (Q.S al-Nur: 31) atau menutup bagian dada (payudara), kemaluan, dan tidak bertelanjang bulat. Batas maksimumnya adalah menutup sekujur anggota tubuh, kecuali dua telapak tangan dan wajah. Dengan pendekatan ini, perempuan yang tidak memakai jilbab pada umumnya (termasuk model “jilbab gaul” yang kini sedang ngetren) sesungguhnya telah memenuhi ketentuan Allah, sebab masih berada pada wilayah di antara batas minimum dan maksimum tadi. Sebaliknya, perempuan yang menutup sekujur tubuhnya (termasuk wajah, dengan cadar misalnya) dianggap telah keluar dari hudûd-u-lLâh (batasan-batasan Allah), karena melebihi batas maksimum yang ditentukan Alquran. Artinya, perempuan yang mengenakan cadar dan menutup sekujur tubuhnya –dengan pendekatan ini– malah sudah “tidak islami”.
Ketiga, dengan teori limitnya, Syahrur telah melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap metodologi ijtihad hukum, utamanya terhadap ayat-ayat hudûd yang selama ini diklaim sebagai ayat-ayat muhkamât yang bersifat pasti dan hanya mengandung penafsiran tunggal. Bagi Syahrur, ayat-ayat muhkamât juga dapat dipahami secara dinamis dan memiliki alternatif penafsiran, sebab Alquran diturunkan untuk merespon persoalan manusia dan berlaku sepanjang masa. Semua ayat Alquran tidak saja dapat dipahami, bahkan bagi Syahrur dapat dipahami secara pluralistik, sebab makna suatu ayat itu dapat berkembang, tidak harus sesuai dengan makna (pengertian) ketika ayat itu turun. Walhasil, penafsiran suatu ayat sesungguhnya bersifat relatif dan nisbi, sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, melalui teori limit, Syahrur ingin melakukan pembacaan ayat-ayat muhkamât secara produktif dan prospektif (qirâ’ah muntijah), bukan pembacaan repetitif dan restrospektif (qirâ’ah mutakarrirah).
Keempat, dengan teori limit, Syahrur ingin membuktikan bahwa ajaran Islam benar-benar merupakan ajaran yang relevan untuk tiap ruang dan waktu. Syahrur berasumsi, kelebihan risalah Islam adalah bahwa di dalamnya terkandung dua aspek gerak, yaitu gerak konstan (istiqâmah) serta gerak dinamis dan lentur (hanîfiiyah). Nah, sifat kelenturan Islam ini berada dalam bingkai teori limit yang oleh Syahrur dipahami sebagai the bounds or restrictions that God has placed on mans freedom of action (batasan yang telah ditempatkan Tuhan pada wilayah kebebasan manusia).
Kerangka analisis teori limit yang berbasis dua karakter utama ajaran Islam ini (aspek yang konstan dan yang lentur) akan membuat Islam tetap survive sepanjang zaman. Dua hal yang beroposisi secara biner itu kemudian melahirkan gerak dialektik (al-harakah al-jadaliyah) dalam pengetahuan dan ilmu-ilmu sosial. Dari situlah diharapkan lahir paradigma baru dalam pembuatan legislasi hukum Islam(tasyrî’), sehingga memungkinkan terciptanya dialektika dan perkembangan sistem hukum Islam secara terus-menerus.
WalLâh a’lam!
Rekonstruksi Ushul Fiqh Menurut Muhammad Syahrur
9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
wah saya harap ndak keblabasan dalam pikiran m. syahrur. monggo dibaca di media lain dia juga menghalalkan kumpul kebo loh apakah itu yang dinamkan islami.ati ati kesasar
wah tengkyu atas infonya,,
moga banyak manfaat,,
berjuang untuk ummat..