Artikel ini mendeskripsikan karakteristik studi hukum Islam yang terjebak pada kajian tekstual. Bukan saja karakteristik hukum Islam terjebak pada kajian tekstual, metodologi serta produk hukum Islam itu sendiri juga terjebak pada kajian tekstual dan problem tekstualitas. Ushul al-Fiqh sebagai ilmu yang mendasari studi hukum Islam, pun selalu mendefinisikan hukum Islam dengan tidak pernah keluar dari “teks“. Ini membaw problem tersendiri ketika hukum Islam harus menyahuti problem bumi di mana ia harus berinteraksi dengan realitas dan persoalan-persoalan non-tekstual. Teks memang penting. Ada apa dengan hukum Islam dan mengapa hal itu terjadi?
Tekstualitas Studi Hukum Islam
Terdapat kesan yang kuat bahwa studi hukum Islam selama ini adalah semata-mata bersifat tekstual, normative dan sui-generis. Kesan demikian sesungguhnya tidak terlalu berlebihan, karena Ushul al-Fiqh sendiri --yang nota bene merupakan metode penemuan hukum Islam— selalu saja didefinisikan sebagai “seperangkat kaidah untuk menyimpulkan hukum syar’i praktis (fiqh) dari dalil-dalil teks- nya yang rinci”.
Ini memberi kesan bahwa kajian metodologi dan hukum Islam terfokus dan tidak lebih dari pada analisis teks. Definisi di atas juga memberi petunjuk bahwa hukum dalam Islam hanya dapat dicari dan diderivasi dari teks-teks wahyu saja (law in book). Sedangkan realitas faktual-empiris “historis” yang hidup dan berlaku di masyarakat (living law) kurang mendapatkan tempat yang proporsional di dalam kerangka berpikir metodologi hukum Islam.
Kurangnya analisis empiris (the lack of empiricism) inilah satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam. Serangkaian metode Ushul al-Fiqh konvensional seperti qiyas, istislah, bahkan ‘urf kurang memungkinkan memberi ruang gerak yang luas dan bebas bagi dimasukannya data-data sosial empiris dalam analisis teoretis dan metode penemuan hukum Islam. Studi Ushul al-Fiqh pada akhirnya masih berputar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif dan tetap saja bersifat tekstual sui-generis.
Kesulitan demikian juga masih sangat terasa dalam berbagai tawaran metodologis yang diusulkan oleh para pemikir hukum Islam klasik seperti al-Ghazali dengan metode induksi dan tujuan hukumnya maupun asy-Syatibi dengan induksi tematisnya. Meskipun telah merintis jalan pengembangan analisis empiris, tetapi dalam praktek dan kebanyakan tulisannya mereka masih terpusat pada analisis normative-tekstual.
Pembaruan pemikiran kontemporer oleh Fazlur Rahman sampai Muhammad Sahrur, masih belum ketegas menjawab pertanyaan sekaligus persoalan di atas. Meskipun telah demikian jauh diupayakan perluasan makna teks melalui berbagai cara, kecenderungan mendasar tekstualitas sekaligus kurangnya analisis empiris metode penemuan hukum Islam masih belum terselesaikan. Secara metodologis hukum Islam, dengan demikian, masih menyisakan ruang kosong (jarak, distace) antara dirinya dengan realitas di sekelilingnya.
Tekstualitas metode penemuan hukum Islam (Ushul al-Fiqh) tentu bukan suatu kebetulan. Ini adalah karakteristik yang lahir dari satu sistem berpikir dan otoritas epistemologis tertentu. Jika dilacak lebih jauh, maka sebagian besar umat Islam yang menganut subjektifisme teistik menyatakan bahwa hukum hanya dapat dikenali melalui wahyu Ilahi yang dibakukan dalam kata-kata yang dilaporkan Nabi berupa al-Qur’an dan as-Sunnah. Inilah yang tampaknya telah menggiring fokus wacana hukum Islam pada analisis teks-teks suci semata.
Tekstualitas berlebihan metode penemuan hukum Islam telah memunculkan kesulitan dan ketidak-cakapan hukum Islam dalam merespon dan menyambut gelombang perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in book oriented dan kurang memperhatikan law in action --sebagai akibat dari kecenderungan tekstualitas metodologinya-- tidak kecil kemungkinan akan selalu tertinggal di belakang sejarah; sampai batas tertentu bahkan mungkin ditinggalkan karena tidak releven lagi dengan situasi aktual umatnya.
Aspek lain dari keterbatasan tersebut adalah ketika studi fenomena sosial mengharuskan pendekatan holistik yang dengan cara demikian relasi-relasi sosial disistematisasikan menurut aturan-aturan universal, justru metode klasik bersifat atomistik yang pada dasarnya disandarkan pada penalaran analogis.
Keterbatasan dan ketidakcakapan metode klasik tersebut pada akhirnya membawa kajian keislaman pada satu krisis metodologis yang melanda hampir seluruh wilayah kajian Islam termasuk di bidang hukum. Pada situasi seperti inilah kemunculan satu tawaran alternatif yang bisa menutupi kekurangan metode sebelumnya menjadi sangat diharapkan. Khususnya di dalam hukum Islam, adanya upaya metodologi baru diharapkan bisa memberi jalan yang lebih memungkinkan untuk menjembatani problem tekstualitas tersebut di atas ke arah metode penemuan hukum Islam yang empiris-historis.
Saturday, 7 August 2010
Problematika Tekstualitas Studi Hukum Islam
:
Problematika Tekstualitas Studi Hukum Islam
9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
cElOTEh sObAT BLOGGER :
ASSALAMU'ALAIKUM WR WB
BLOG ini DOFOLLOW _ Berkomenarlah Yang Baik Dan Sopan Zaaaa !!
Kalo Mau Pake EMOTICONS, sObat Hanya Cukup Menulisan Kodenya Saja... !! ( :10 :11 :13 :16 - :101 / :najis :travel :rate5 ) BE A FRIENDLY !