Saturday, 5 May 2012
TAKHRIJ AL-HADITH | Hadis Tentang Iman
1
TA'ASSUF FI AL-ISTI'MAL AL-HAQ | Ta'assuf dalam masalah Ta'liq Talaq Dan Mahar
2
Friday, 27 January 2012
Analisis Surat Ali Imron 133 -136 DItinjau Dari Kacamata Ilmu MantiQ
0
Friday, 30 December 2011
Hukum Mencari-Cari Rukhsoh (Keringanan Dalam Pendapat) Dari Para Ahli Fiqih
0
Sesungguhnya syaithon senantiasa berusaha menggelincirkan manusia dan menyesatkan mereka dari jalan kebenaran dengan wasilah-wasilah yang beranekaragam. Di antara pintu-pintu kejelekan yang telah dibuka oleh syaithon untuk manusia adalah :”Mencari rukhsoh-rukhsoh (pendapat-pendapat yang paling ringan) dari para fuqoha’ dan mengikuti kesalahan-kesalahan mereka”. Maka dengan cara ini syaithon menipu banyak kaum muslimin yang bodoh. Sehingga hal-hal yang haram dilanggar dan hal-hal yang wajib ditinggalkan karena bergantung kepada pendapat atau rukhsoh yang palsu. Maka jadilah orang-orang bodoh tersebut menjadikan hawa nafsu mereka sebagai hakim dalam masalah-masalah khilafiyah. Mereka memilih pendapat yang paling mudah dan yang paling enak menurut hawa nafsu mereka tanpa bersandar kepada dalil syar’i, bahkan karena taqlid kepada kesalahan seorang alim yang seandainya orang alim tersebut mengetahui kebenaran maka dia akan meninggalkan pendapatnya (yang salah tersebut) tanpa ragu-ragu.
Pemakaian Kitab Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadith al-Nabawi
2
Tawakkal Menurut Al-Qur'an Dan Hadis
1
Friday, 12 August 2011
TEMA PEMIKIRAN HUKUM ISLAM IBRAHIM HOSEN
0
Tuesday, 5 April 2011
Tafsir Ayat Tentang Wasiat
0
Saturday, 26 March 2011
Skema Ahli Waris dan Bagiannya (Faraidh 4)
0
Perkembangan Pembagian Harta Waris (Faraidh 3)
0
Thursday, 23 December 2010
SEJARAH WAKAF DALAM ISLAM
0
Sunday, 21 November 2010
Konsep Sumpah (QASAM - YAMIEN) Serta Kafaratnya Dalam Hukum Islam
2
- Yamin atau sumpah menurut bahasa dan istilah syar’i :
Tuesday, 17 August 2010
Melakukan Qunut Pada Saat Shalat Tarawih
0
Para ulama berbeda pendapat tentang qunut yang dilakukan pada saat shalat witir—yang menyertai shalat qiyamullail atau taraweh—menjadi :
1. Abu Hanifah mengatakan bahwa qunut didalam shalat witir adalah wajib dilakukan sebelum ruku’.Dua sahabatnya, Abu Yusuf dan Muhammad, mengatakan bahwa hal itu adalah sunnah dilakukan sebelum ruku’.
2. Para ulama Maliki dalam pendapatnya yang masyhur serta Thawus dan juga riwayat dari Ibnu Umar menyebutkan bahwa qunut tidaklah disyariatkan didalam shalat witir. Dari Thawus disebutkan bahwa dia mengatakan,”Qunut didalam shalat witir adalah bid’ah.” dari Ibnu Umar bahwa dirinya tidaklah melakukan qunut didalam setiap shalat.
Dan yang masyhur dari madzhab Maliki ini adalah dimakruhkan melakukan qunut didalam shalat witir. Ada juga riwayat dari Malik yang menyebutkan bahwa dia melakukan qunut di dalam shalat witir pada pertengahan
Golongan Yang Berhak Menerima Zakat
0
PENERIMA ZAKAT.
Penerima zakat ialah delapan golongan yang disebutkan Allah Azza wa Jalla di kitab-Nya. Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana” [At-Taubah : 60]
Penjelasan tentang kedelapan penerima tersebut adalah sebagai berikut.
[1] Orang-orang Fakir.
Orang fakir ialah orang yang tidak mempunyai harta untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan orang-orang yang ia tanggung. Kebutuhan itu berupa makanan, atau minuman, atau pakaian, atau tempat tinggal, kendati ia mempunyai harta se-nishab.
[2] Orang Miskin.
Bisa jadi orang miskin itu kefakirannya lebih ringan, atau lebih berat daripada orang fakir. Hanya saja hukum keduanya adalah satu dalam segala hal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendefinisikan orang miskin dalam hadits-haditsnya, misalnya beliau bersabda.
Saturday, 7 August 2010
Problematika Tekstualitas Studi Hukum Islam
0
Artikel ini mendeskripsikan karakteristik studi hukum Islam yang terjebak pada kajian tekstual. Bukan saja karakteristik hukum Islam terjebak pada kajian tekstual, metodologi serta produk hukum Islam itu sendiri juga terjebak pada kajian tekstual dan problem tekstualitas. Ushul al-Fiqh sebagai ilmu yang mendasari studi hukum Islam, pun selalu mendefinisikan hukum Islam dengan tidak pernah keluar dari “teks“. Ini membaw problem tersendiri ketika hukum Islam harus menyahuti problem bumi di mana ia harus berinteraksi dengan realitas dan persoalan-persoalan non-tekstual. Teks memang penting. Ada apa dengan hukum Islam dan mengapa hal itu terjadi?
Tekstualitas Studi Hukum Islam
Terdapat kesan yang kuat bahwa studi hukum Islam selama ini adalah semata-mata bersifat tekstual, normative dan sui-generis. Kesan demikian sesungguhnya tidak terlalu berlebihan, karena Ushul al-Fiqh sendiri --yang nota bene merupakan metode penemuan hukum Islam— selalu saja didefinisikan sebagai “seperangkat kaidah untuk menyimpulkan hukum syar’i praktis (fiqh) dari dalil-dalil teks- nya yang rinci”.
Ini memberi kesan bahwa kajian metodologi dan hukum Islam terfokus dan tidak lebih dari pada analisis teks. Definisi di atas juga memberi petunjuk bahwa hukum dalam Islam hanya dapat dicari dan diderivasi dari teks-teks wahyu saja (law in book). Sedangkan realitas faktual-empiris “historis” yang hidup dan berlaku di masyarakat (living law) kurang mendapatkan tempat yang proporsional di dalam kerangka berpikir metodologi hukum Islam.
Kurangnya analisis empiris (the lack of empiricism) inilah satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam. Serangkaian metode Ushul al-Fiqh konvensional seperti qiyas, istislah, bahkan ‘urf kurang memungkinkan memberi ruang gerak yang luas dan bebas bagi dimasukannya data-data sosial empiris dalam analisis teoretis dan metode penemuan hukum Islam. Studi Ushul al-Fiqh pada akhirnya masih berputar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif dan tetap saja bersifat tekstual sui-generis.
Kesulitan demikian juga masih sangat terasa dalam berbagai tawaran metodologis yang diusulkan oleh para pemikir hukum Islam klasik seperti al-Ghazali dengan metode induksi dan tujuan hukumnya maupun asy-Syatibi dengan induksi tematisnya. Meskipun telah merintis jalan pengembangan analisis empiris, tetapi dalam praktek dan kebanyakan tulisannya mereka masih terpusat pada analisis normative-tekstual.
Pembaruan pemikiran kontemporer oleh Fazlur Rahman sampai Muhammad Sahrur, masih belum ketegas menjawab pertanyaan sekaligus persoalan di atas. Meskipun telah demikian jauh diupayakan perluasan makna teks melalui berbagai cara, kecenderungan mendasar tekstualitas sekaligus kurangnya analisis empiris metode penemuan hukum Islam masih belum terselesaikan. Secara metodologis hukum Islam, dengan demikian, masih menyisakan ruang kosong (jarak, distace) antara dirinya dengan realitas di sekelilingnya.
Tekstualitas metode penemuan hukum Islam (Ushul al-Fiqh) tentu bukan suatu kebetulan. Ini adalah karakteristik yang lahir dari satu sistem berpikir dan otoritas epistemologis tertentu. Jika dilacak lebih jauh, maka sebagian besar umat Islam yang menganut subjektifisme teistik menyatakan bahwa hukum hanya dapat dikenali melalui wahyu Ilahi yang dibakukan dalam kata-kata yang dilaporkan Nabi berupa al-Qur’an dan as-Sunnah. Inilah yang tampaknya telah menggiring fokus wacana hukum Islam pada analisis teks-teks suci semata.
Tekstualitas berlebihan metode penemuan hukum Islam telah memunculkan kesulitan dan ketidak-cakapan hukum Islam dalam merespon dan menyambut gelombang perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in book oriented dan kurang memperhatikan law in action --sebagai akibat dari kecenderungan tekstualitas metodologinya-- tidak kecil kemungkinan akan selalu tertinggal di belakang sejarah; sampai batas tertentu bahkan mungkin ditinggalkan karena tidak releven lagi dengan situasi aktual umatnya.
Aspek lain dari keterbatasan tersebut adalah ketika studi fenomena sosial mengharuskan pendekatan holistik yang dengan cara demikian relasi-relasi sosial disistematisasikan menurut aturan-aturan universal, justru metode klasik bersifat atomistik yang pada dasarnya disandarkan pada penalaran analogis.
Keterbatasan dan ketidakcakapan metode klasik tersebut pada akhirnya membawa kajian keislaman pada satu krisis metodologis yang melanda hampir seluruh wilayah kajian Islam termasuk di bidang hukum. Pada situasi seperti inilah kemunculan satu tawaran alternatif yang bisa menutupi kekurangan metode sebelumnya menjadi sangat diharapkan. Khususnya di dalam hukum Islam, adanya upaya metodologi baru diharapkan bisa memberi jalan yang lebih memungkinkan untuk menjembatani problem tekstualitas tersebut di atas ke arah metode penemuan hukum Islam yang empiris-historis.
Perkembangan Pembagian Harta Waris
0
Sebagaimana telah dijelaskan pada artikel saya sebelumnya, bahwasanya dalam menjalankan aturan pusaka-mempusakai, orang-orang Arab Jahiliyah selalu berpedoman dengan tradisi-tradisi yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, kendati pun tradisi-tradisi tersebut bertentangan dengan akal yang sehat dan fikrah yang sejahtera.
Keluarga yang diikat oleh ikatan yang kuat, seperti ikatan keturunan, hubungan darah dan perjodohan tidak tentu mendapat pusaka. Tetapi justru keluarga yang tidak diikat oleh ikatan yang kuat sekali pun, seperti orang-orang yang diikat oleh janji prasetia atau diikat oleh adopsi, dapat digolongkan kepada ahli waris yang berhak mendapatkan harta peninggalan.
Pada beberapa saat setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasulullah, orang-orang Islam tidak sedikit yang masih melangsungkan tradisi Jahiliyah tersebut, sampai mereka sanggup menerima dan mengamalkan hukum-hukum baru yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
Di waktu kaum Muslimin masih lemah, jumlah pengikut-pengikutnya belum memadai dengan jumlah musuh-musuh yang selalu merintangi usaha kaum Muslimin dalam memberantas segala kemusyrikan dan apalagi sebagian pengikut-pengikutnya masih tipis imannya. Rasulullah SAW berkemauan keras dan bercita-cita luhur untuk membentuk masyarakat Islam yang kokoh dengan mempersatukan orang-orang Islam sendiri. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh pada saat itu adalah dengan mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dari Makkah dengan orang-orang Ans}or di Madinah. Sebagai jaminan untuk terealisasinya persatuan antar mereka, maka hijrah dan perjanjian persaudaraan (muakhkhah}) itu dijadikan salah satu sebab dari sebab-sebab mempusakai.
Serenta 'aqidah mereka bertambah kuat dan satu sama lain telah terpupuk rasa saling mencintai, perkembangan agama Islam semakin maju, pengikut-pengikut agama Islam bertambah banyak, pemerintah Islam sudah stabil dan lebih dari itu penaklukkan kota Makkah telah berhasil dengan sukses, maka kewajiban hijrah yang semula sebagai media untuk menyusun kekuatan antara orang Muslimin dari Makkah dengan orang Muslimin dari Madinah dicabut dengan sabda beliau;
لاَهِجْرَةَ بَعْدَ اْلفَتْحِ[1]
"Tidak ada kewajiban berhijrah lagi setelah penaklukan kota Makkah."
Demikian pula sebab-sebab mempusakai yang berdasarkan ikatan persaudaraan dinasakh oleh firman Alla>h dalam Surat al-Ah}z}ab; 6[2]
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا (الاحزاب : 6)
"…….. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah sebagiannya adalah lebih berhak daripada sebagaian yang lain di dalam kitab Alla>h daripada orang-orang Mu'min dan orang-orang Muha>jirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu …."
Sebab-sebab mempusakai yang hanya berdasarkan kelaki-lakian yang dewasa lagi kuat berjuang dengan mengenyampingkan anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah juga telah dibatalkan.[3] Pembatalan tersebut tercantum dalam surah al-Nisa>' ; 7;
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا (النساء : 7)
"Bagi orang laki-laki ada bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan kerabat-kerabatnya dan bagi perempuan pun ada bagian daria harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan."
Dan dalam Surat al-Nisa>' : 127.
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْوِلْدَانِ وَأَنْ تَقُومُوا لِلْيَتَامَى بِالْقِسْطِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِهِ عَلِيمًا (النساء : 127)
"Mereka meminta fatwa padamu perihal kaum perempuan. Jawablah; Alla>h Ta'a>la bakal memfatwakan padamu. Perihal mereka dan apa yang dibacakan kepadamu di dalam al-Kita>b, (juga memfatwakan) tentang wanita-wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, padahal kamu berhasrat menikahinya dan juga tentang anak-anak yang dipandang lemah …."
Dalam kedua nas}s} tersebut dijelaskan, bahwa kaum perempuan itu sedikit atau banyak mendapat bagian harta peninggalan secara pasti sebagai ahli waris.
Adapun pembatalan tentang ketiadaan dapat mempusakai bagi anak-anak yang belum dewasa tercantum dalam keumuman surah al-Nisa>' ; 11;
ُيوْصِيْكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ (النساء : 11)
"Alla>h mewasiatkan kamu untuk anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….."
kemudian mempusakai yang berdasarkan janji prasetia, sebagaimana yang tercantum dalam surah al-Nisa>' 4; 33 dinasah}kan oleh firman Alla>h dalam Surat al-Anfa>l : 75;
وَأُولُوا اْلاَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (الانفال : 75)
"…….. Orang-orang yang mempunyai pertalian kerabat itu sebagiannya lebih baik daripada sebagaian yang lain di dalam Kita>b Alla>h. sungguh Alla>h itu Maha mengetahui segala sesuatu."
Sedangkan mempusakai berdasarkan adopsi dibatalkan oleh firman Alla>h dalam surah al-Ah}za>b : 4 dan 5;
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (4) ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا ءَابَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ (5) (الاحزاب : 4-5)
"Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (orang-orang yang di bawah pemeliharaan)mu ……."
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Sei>kh Khalil Ma'mun Sih}a>, al-Minha>j biSharh} S{ah}i>h} Muslim, 3468, Vol 9 (Beirut; Dar al-Ma'rifah, 1997), 215.
[2] Fakhruddi>n al-Ra>zi>, Tafsi>r al-Kabi>r, Vol VIIII, 165.
[3] Fakhruddi>n al-Ra>zi>, Tafsi>r al-Kabi>r, Vol VIIII, 165.
Sejarah Waris Dalam Islam Dan Perkembangannya (Faraidh 2)
0
Ilmu Waris Dalam Islam (Faraidh 1)
0
Interkoneksi Studi Hukum Islam Dan Ilmu-Ilmu Sosial
1
Dalam studi hukum Islam (Islamic legal studies) fiqh sebenarnya tidak lain merupakan suatu kelajutan logis atau salah satu produk jadi saja dari apa yang sering disebut sebagai “hukum Islam”. Alat (re)produksi atau metodologi yang menghasilkan fiqh itu sendiri disebut Ushul al-Fiqh. Oleh karena itu, ketika ingin mengetahui seluk-beluk hukum Islam dan kemudian mengembangkannya, maka menoleh kembali kepada kajian metodologi atau alat reproduksi hukum adalah menjadi satu keniscayaan. Dengan satu ilmu ini memang hukum Islam -bahkan seluruh ilmu-ilmu keislaman- seharusnya menjadi lebih hidup dan dinamis di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Pada kenyataannya, yang terjadi tidaklah demikian. Sejarah di dunia Islam tidak kurang menunjukkan bahwa kemunduran dan skeptisisme intelektual telah melanda umat Islam sejak abad pertengahan. Lebih dari itu, meskipun masih debatable, sejarah hukum Islam bahkan mencatatkan satu istilah Insidad Bab al-Ijtihad (the closure gate of ijtihad) sebagai fenomena yang seolah-olah hampir disepakati keberadaannya --jika benar tentu menjadi bukti malaise intelektual di dalam struktur keilmuan (hukum) Islam secara keseluruhan.
Akibat berantai yang ditimbulkan oleh fenomena tersebut di atas, bisa diduga, adalah kemunduran umat Islam di seluruh bidang garap hidup dan kehidupan mereka sendiri. Bagi sebagian pengamat, hal itu disebabkan oleh alam berpikir umat Islam (arab) yang sejak awal bersifat atomistik dan menolak rasionalisme. Sebagai konsekuensinya, bangsa arab --dan umat Islam pada umumnya- juga tidak percaya terhadap semua konsep kebenaran universal yang abstrak dan a priori, seperti hukum alam dan keadilan?.
Memasuki wilayah hukum Islam, cara berpikir yang demikian itu pada gilirannya telah membentuk karakteristik fiqh Islam klasik yang kajiannya terutama terfokus pada law in book dari pada law in action. Inilah yang dalam orientalisme hukum Islam dikenal sebagai semacam “konflik” antara teori dan praktek dalam sejarah hukum Islam. Semua itu -hemat penulis-- berakar pada krisis metodologi dan alat reproduksi hukum Islam (Ushul al- Fiqh) yang memberikan penekanan dan perlakuan berlebihan kepada teks-teks wahyu dan sebaliknya kurang memperhatikan realitas empiris disekitarnya. Akhirnya, “studi hukum Islam” seolah menjadi semata-mata “studi teks”. Oleh karena itu, ketika ilmu hukum Islam -dan juga ilmu-ilmu keislaman lain-- dituntut merespon perubahan dan persoalan sosial riil, sangat dirasakan adanya kekurangan metode empiris yang memadai.
A. Tekstualitas dan Krisis dalam Ushul al-Fiqh
Sebagaimana sedikit disinggung di atas, terdapat kesan yang kuat bahwa studi hukum Islam selama ini adalah semata-mata bersifat normative dan sui-generis. Kesan demikian sesungguhnya tidak terlalu berlebihan, karena Ushul al-Fiqh sendiri --yang nota bene merupakan metode penemuan hukum Islam- selalu saja didefinisikan sebagai "القواعد لإستنباط الآحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية" “seperangkat kaidah untuk menyimpulkan hukum syar’i praktis (fiqh) dari dalil-dalilnya yang rinci”.
Kata-kata yang tidak pernah lepas tertinggal dari semua definisi Ushul al-Fiqh tersebut adalah kalimat من أدلتها التفصيلية . Ini memberi kesan sekaligus membuktikan bahwa kajian metodologi dan alat reproduksi hukum Islam memang terfokus dan tidak lebih dari pada analisis teks. Lebih dari itu, definisi di atas juga memberi petunjuk bahwa hukum dalam Islam hanya dapat dicari dan diderivasi dari teks-teks wahyu saja (law in book). Sementara itu, realitas faktual-empiris “histories” yang hidup dan berlaku di masyarakat (living law) kurang mendapatkan tempat yang proporsional di dalam kerangka berpikir metodologi hukum Islam.
Kurangnya analisis empiris (the lack of empiricism) inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini. Hal demikian semakin terlihat dengan jelas ketika serangkaian metode Ushul al-Fiqh konvensional seperti qiyas, istislah, bahkan ‘urf kurang memungkinkan memberi ruang gerak yang luas dan bebas bagi dimasukannya data-data sosial empiris dalam analisis teoretis dan metode penemuan hukum Islam-nya. Studi Ushul al-Fiqh pada akhirnya masih berputar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif dan tetap saja bersifat sui-generis.
Kesulitan demikian juga masih sangat terasa dalam berbagai tawaran metodologis yang diusulkan oleh para pemikir hukum Islam klasik seperti al-Ghazali dengan metode induksi dan tujuan hukumnya maupun asy-Syatibi dengan induksi tematisnya. Menurut Syamsul Anwar, meskipun telah merintis jalan pengembangan analisis empiris, tetapi dalam praktek dan kebanyakan tulisannya mereka masih terpusat pada analisis normative-tekstual. Demikian juga upaya pembaruan pemikiran kontemporer, sebagaimana dilakukan oleh Fazlur Rahman sampai Muhammad Sahrur, masih belum memberikan ketegasan untuk menjawab pertanyaan sekaligus persoalan di atas. Artinya, meskipun telah demikian jauh diupayakan perluasan makna teks melalui berbagai cara, kecenderungan mendasar tekstualitas sekaligus kurangnya analisis empiris metode penemuan hukum Islam masih belum terselesaikan. Paling tidak secara metodologis hukum Islam, dengan demikian, masih menyisakan ruang kosong (jarak, distace) antara dirinya dengan realitas di sekelilingnya.
Tekstualitas metode penemuan hukum Islam (Ushul al-Fiqh) tersebut di atas tentu saja bukan suatu kebetulan. Sebaliknya, ia merupakan karakteristik yang lahir dari satu sistem berpikir dan otoritas epistemologis tertentu. Jika dilacak lebih jauh, maka sebagian besar umat Islam yang menganut subjektifisme teistik menyatakan bahwa hukum hanya dapat dikenali melalui wahyu Ilahi yang dibakukan dalam kata-kata yang dilaporkan Nabi berupa al-Qur’an dan as-Sunnah. Keyakinan inilah yang tampaknya telah menggiring fokus wacana hukum Islam pada analisis teks-teks suci tersebut.
Disadari bahwa kecenderungan tekstualitas yang berlebihan dalam metode penemuan hukum seperti tadi pada gilirannya telah memunculkan kesulitan dan ketidak-cakapan hukum Islam itu sendiri dalam merespon dan menyambut gelombang perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in book oriented dan kurang memperhatikan law in action --sebagai akibat dari kecenderungan tekstualitas metodologinya-- tidak kecil kemungkinan akan selalu tertinggal di belakang sejarah; sampai batas tertentu bahkan mungkin ditinggalkan karena tidak releven lagi dengan situasi aktual umatnya.
B. Integrasi dan Interkoneksi Studi Hukum Islam dan ilmu-ilmu Sosial
Sebagaimana dipaparkan Abu Sulayman, krisis metodologi keilmuan Islam, yang berpangkal pada kurangnya dimensi empirisitas serta tidak adanya sistematisasi secara menyeluruh, disadari oleh para pemikir Muslim harus segera mendapatkan terapi intelektualnya. Akan tetapi, kekurangan tersebut tidak dapat semata-mata dilakukan dengan menerapkan ilmu-ilmu sosial modern Barat apa adanya. Itu disebabkan karena metode dan pendekatan ilmu-ilmu sosial modern juga tengah mengalami krisis epistemologis yang tidak kalah akutnya. Jika metode dan pendekatan keilmuan Islam terjebak pada analisis tekstual dan kurang mengapresiasi dimensi sosial-empiris, maka sebaliknya, keilmuan Barat terjebak pada positivisme yang tidak pernah memperhitungkan dimensi normative (wahyu) dalam metode dan pendekatannya.
Berdasarkan hal itu, maka sesuatu yang diperlukan adalah sebuah upaya mendekatkan, secara epistemologis, dua karakteristik keilmuan tersebut sehingga melahirkan sintesa positif yang diharapkan bermanfaat bagi keduanya, yaitu dapat diterimanya dimensi normatif di dalam analisis sosial keilmuan Barat; sementara bagi ilmu-ilmu keislaman dapat membantu memasukkan fakta-fakta sosial empiris di dalam analisis tekstualnya. Menyatukan elemen religius ke dalam wilayah ilmu sekuler ini, menurut Abu Sulayman, tentu saja berarti suatu proses restorasi wahyu dan akal yang harus sampai pada proses metodologis tertentu. Akan tetapi, integrasi ini bukanlah suatu percampuran eklektik dari Islam klasik dan Barat modern, tetapi lebih sebagi reorientasi seluruh bidang pengetuhuan kemanusiaan sesuai dengan sejumlah kategori dan kriteria baru atas dasar asumsi-asumsi yang tidak bertentangan dengan Islam.
Safi dalam Towards A Unified Approach to Shari’ah and Sosial Inference, hemat penulis adalah dalam kerangka tersebut di atas. Dalam usulannya, Safi terlebih dahulu menjelaskan bagaimana setiap pengetahuan tidak bisa lepas dari pra-anggapan tertentu atau tidak bebas nilai (value free); bagaimana wahyu juga mengandung suatu “rasionalitas” tertentu dan; bagaimana realitas wahyu dan realitas empiris sama-sama bisa menjadi sumber pengetahuan. Menurutnya, ilmu dan aktifitas ilmiah adalah hasil/ kelanjutan dari ontologi tertentu yang mengaitkan upaya ilmiah dengan individu dan lingkungannya dan melengkapinya dengan dasar motivasional. Sebaliknya, aktivitas ilmiah mengandaikan sejumlah pernyataan tentang sifat eksisten, suatu kebenaran yang harus diakui sebelum terlibat dalam berbagai studi empiris. Oleh sebab itu, memisahkan kebenaran keagamaan (metafisika, wahyu) dari wilayah ilmiah -terutama wilayah ilmu-ilmu sosial-- adalah pendapat yang tidak dapat dibenarkan.
Safi dalam Towards A Univied Approach to Shari’ah and Sosial Inference, menurut penulis, adalah ilmu sosial kemanusiaan (humaniora) secara umum. Oleh sebab itu, ia tidak hanya terbatas pada ilmu sosiologi saja. Tetapi mencakup pula ilmu sejarah, antropologi, politik dan sebagainya dengan karakternya yang “historis”, empiris. Ini tampak ketika Safi memaparkan kekhasan “ilmu sosial” dihadapan metode-metode kealaman (naturalistic methods).
Safi, tidak dimaksudkan untuk mengharmonisasikan (mencampuradukkan) secara eklekstis antara dua tradisi (keilmuan Islam dan Barat) itu, tetapi mengintegrasikan pengetahuan yang diperoleh oleh dari wahyu dengan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman manusia.
Wa Allâh A‘lam.