Sebagaimana telah dijelaskan pada artikel sebelumnya, bahwasanya dalam menjalankan aturan pusaka-mempusakai, orang-orang Arab Jahiliyah selalu berpedoman dengan tradisi-tradisi yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, kendati pun tradisi-tradisi tersebut bertentangan dengan akal yang sehat dan fikrah yang sejahtera.
Keluarga yang diikat oleh ikatan yang kuat, seperti ikatan keturunan, hubungan darah dan perjodohan tidak tentu mendapat pusaka. Tetapi justru keluarga yang tidak diikat oleh ikatan yang kuat sekali pun, seperti orang-orang yang diikat oleh janji prasetia atau diikat oleh adopsi, dapat digolongkan kepada ahli waris yang berhak mendapatkan harta peninggalan.
Pada beberapa saat setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasulullah, orang-orang Islam tidak sedikit yang masih melangsungkan tradisi Jahiliyah tersebut, sampai mereka sanggup menerima dan mengamalkan hukum-hukum baru yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
Di waktu kaum Muslimin masih lemah, jumlah pengikut-pengikutnya belum memadai dengan jumlah musuh-musuh yang selalu merintangi usaha kaum Muslimin dalam memberantas segala kemusyrikan dan apalagi sebagian pengikut-pengikutnya masih tipis imannya. Rasulullah SAW berkemauan keras dan bercita-cita luhur untuk membentuk masyarakat Islam yang kokoh dengan mempersatukan orang-orang Islam sendiri. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh pada saat itu adalah dengan mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dari Makkah dengan orang-orang Ansor di Madinah. Sebagai jaminan untuk terealisasinya persatuan antar mereka, maka hijrah dan perjanjian persaudaraan (muakhkhah) itu dijadikan salah satu sebab dari sebab-sebab mempusakai.
Serenta 'aqidah mereka bertambah kuat dan satu sama lain telah terpupuk rasa saling mencintai, perkembangan agama Islam semakin maju, pengikut-pengikut agama Islam bertambah banyak, pemerintah Islam sudah stabil dan lebih dari itu penaklukkan kota Makkah telah berhasil dengan sukses, maka kewajiban hijrah yang semula sebagai media untuk menyusun kekuatan antara orang Muslimin dari Makkah dengan orang Muslimin dari Madinah dicabut dengan sabda beliau;
لاَهِجْرَةَ بَعْدَ اْلفَتْحِ[1]
"Tidak ada kewajiban berhijrah lagi setelah penaklukan kota Makkah."
Demikian pula sebab-sebab mempusakai yang berdasarkan ikatan persaudaraan dinasakh oleh firman Allah dalam Surat al-Ahzab; 6[2]
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا (الاحزاب : 6)
"…….. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah sebagiannya adalah lebih berhak daripada sebagaian yang lain di dalam kitab Allah daripada orang-orang Mu'min dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu …."
Sebab-sebab mempusakai yang hanya berdasarkan kelaki-lakian yang dewasa lagi kuat berjuang dengan mengenyampingkan anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah juga telah dibatalkan.[3] Pembatalan tersebut tercantum dalam surah al-Nisa' ; 7;
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا (النساء : 7)
"Bagi orang laki-laki ada bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan kerabat-kerabatnya dan bagi perempuan pun ada bagian daria harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan."
Dan dalam Surat al-Nisa' : 127.
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْوِلْدَانِ وَأَنْ تَقُومُوا لِلْيَتَامَى بِالْقِسْطِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِهِ عَلِيمًا (النساء : 127)
"Mereka meminta fatwa padamu perihal kaum perempuan. Jawablah; Allah Ta'ala bakal memfatwakan padamu. Perihal mereka dan apa yang dibacakan kepadamu di dalam al-Kitab, (juga memfatwakan) tentang wanita-wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, padahal kamu berhasrat menikahinya dan juga tentang anak-anak yang dipandang lemah …."
Dalam kedua nass tersebut dijelaskan, bahwa kaum perempuan itu sedikit atau banyak mendapat bagian harta peninggalan secara pasti sebagai ahli waris.
Adapun pembatalan tentang ketiadaan dapat mempusakai bagi anak-anak yang belum dewasa tercantum dalam keumuman surah al-Nisa' ; 11;
ُيوْصِيْكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ (النساء : 11)
"Allah mewasiatkan kamu untuk anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….."
kemudian mempusakai yang berdasarkan janji prasetia, sebagaimana yang tercantum dalam surah al-Nisa' 4; 33 dinasahkan oleh firman Allah dalam Surat al-Anfal : 75;
وَأُولُوا اْلاَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (الانفال : 75)
"…….. Orang-orang yang mempunyai pertalian kerabat itu sebagiannya lebih baik daripada sebagaian yang lain di dalam Kitab Allah. sungguh Allah itu Maha mengetahui segala sesuatu."
Sedangkan mempusakai berdasarkan adopsi dibatalkan oleh firman Allah dalam surah al-Ahzab : 4 dan 5;
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (4) ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا ءَابَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ (5) (الاحزاب : 4-5)
"Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (orang-orang yang di bawah pemeliharaan)mu ……."
Hukum Waris DI Indonesia
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang bilateral semakin terasa mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.
Pihak-Pihak Dalam Hukum Waris Islam
Ada beberapa pihak yang terdapat dalam Hukum Waris Islam, diantaranya:
1. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (Pasal 171 huruf b).
2. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (Pasal 171 huruf c). Selanjutnya, mengenai ahli waris tersebut secara lebih rinci dijelaskan dalam Pasal 172-175. Pasal-pasal tersebut membahas bagaimana seseorang terhalang menjadi ahli waris, Kelompok-kelompok ahli waris, kewajiban dan tanggung jawab ahli waris terhadap pewaris.
Besarnya Bahagian Waris
Sebelum kita membahas besarnya bahagian waris, sebaiknya kita memahami dulu beberapa istilah yang nantinya berhubungan dengan bahagian waris. Istilah-istilah tersebut yaitu:
1. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya (Pasal 171 huruf d).
2. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat (Pasal 171 huruf e).
3. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Pasal 171 huruf f).
4. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki (Pasal 171 huruf g).
5. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan (Pasal 171 huruf h)
6. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan (Pasal 171 huruf i).
Besarnya bahagian waris islam dalam KHI diatur pada Bab III Pasal 176-191 yang dapat dijabarkan secara garis besar sebagi berikut:
1. Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anask perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan (Pasal 176).
2. Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian (Pasal 177). Maksud pasal ini ialah ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian (Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1994).
3. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian (Pasal 178 (1)). Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersamasama dengan ayah (Pasal 178 (2)).
4. Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian (Pasal 179).
5. Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian (Pasal 180).
6. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian (Pasal 181).
7. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan (Pasal 182).
8. Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya (Pasal 183).
9. Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannyua, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga (Pasal 184).
10. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 (Pasal 185 (1)). Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti (Pasal 185 (2)).
11. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya (Pasal 186).
12. Bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:
a. Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang;
b. Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c (Pasal 187 (1)).
Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak (Pasal 187 (2)).
13. Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan (Pasal 188).
14. Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan (Pasal 189 (1)). Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing (Pasal 189 (2)).
15. Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya (Pasal 190).
16. Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191).
[1] Seikh Khalil Ma'mun Siha, al-Minhaj biSharh Sahih Muslim, 3468, Vol 9 (Beirut; Dar al-Ma'rifah, 1997), 215.
Perkembangan Pembagian Harta Waris (Faraidh 3)
9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
cElOTEh sObAT BLOGGER :
ASSALAMU'ALAIKUM WR WB
BLOG ini DOFOLLOW _ Berkomenarlah Yang Baik Dan Sopan Zaaaa !!
Kalo Mau Pake EMOTICONS, sObat Hanya Cukup Menulisan Kodenya Saja... !! ( :10 :11 :13 :16 - :101 / :najis :travel :rate5 ) BE A FRIENDLY !