CARA DOWNLOAD VIA ADF.LY

Monday 19 July 2010

FIQH SEBAGAI SEBUAH ETIKA SOSIAL

:

Oleh : H. M. Imdadur Rohman., SHI, MHI

Pada awal perkembangan Islam (pada zaman Nabi Muhammad Saw.) belum dikenal suatu ilmu yang secara spesifik membahas tentang fiqh dengan segala permasalahannya. Nabi sendiri tidak membuat kategorisasi ajaran-ajaran Islam pada kelompok-kelompok tertentu, seperti wajib, halal, haram, mandhub, makruh ataupun sunnah, sebagaimana disebutkan dalam teori hukum belakangan. Klasifikasi ini merupakan hasil kerja para yuris muslim yang secara sungguh-sungguh mempelajari ayat-ayat al-Qur’an, sunnah Nabi, dan praktik para sahabat dan kaum muslimin pada periode awal.
Pada masa formatifnya, fiqh sering dipersepsikan sebagai Islam itu sendiri. Hal ini disebabkan perkembangan fiqh bersamaan dengan perkembangan Islam. Sehingga pada awalnya fiqh masih mempunyai pengertian yang umum, yaitu yang berarti pemahaman, pengetahuan (tentang sesuatu). Dalam al-Qur’an, kata fiqh juga digunakan dalam pengertian yang umum, yaitu Pemahaman (pengetahuan), sebagai contoh firman Allah dalam surat al-Taubat 122.

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (al-Taubah ; 122)

Ekspresi al-Qur’an “ ليتفقهون في الدين “ (untuk memahami/memperdalam masalah agama) dan juga sabda Nabi Saw. “Allahumma faqqihhu fi al din (ya Allah berilah dia pemahaman (yang mendalam) tentang agama (Islam), memperlihakan bahwa pada masa Nabi, istilah fiqh belum digunakan dalam pengertian hukum secara khusus. Namun istilah tersebut masih dalam pengertian luas yang mencakup semua dimensi agama seperti teologi, politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain. Jadi fiqh dipahami sebagai ilmu agama yang akan mengantarkan manusia pada kebaikan dan kemuliaan.
Pada umumnya, masyarakat Islam termasuk masyarakat Indonesia, memandang fiqh identik dengan hukum Islam, dan hukum Islam dipandang identik dengan aturan Tuhan. Sebagai akibatnya fiqh cenderung dianggap sebagai aturan Tuhan itu sendiri. Dengan cara pandang demikian, maka kitab-kitab fiqh dianggap sebagai kumpulan hukum Tuhan, dan karena hukum Tuhan adalah hukum yang paling benar dan tidak dapat dirubah. Maka, kitab-kitab fiqh bukan saja dipandang sebagai produk keagamaan, tetapi mereka memperlakukannya sebagai buku agama itu sendiri. Akibatnya selama berabad-abad fiqh menduduki tempat yang amat terpandang sebagai bagian dari agama itu sendiri, dan bukan bagian dari produk pemikiran keagamaan.
Akibat lebih lanjut dari kedudukan fiqh yang diidentikkan dengan agama itu, maka orang yang menguasai fiqh biasanya disebut fuqaha’, juga mempunyai kedudukan tinggi, bukan saja sebagai orang yang memaklumi produk pemikiran keagamaan tetapi juga penjaga hukum agama itu sendiri. Semestinya kalau dicermati apa yang dinamakan fiqh adalah hasil pemikiran para mujtahid terdahulu seperti Imam Syafi’i, Hanbali, Maliki, Ja’fari, Nawawi, Syaibani, dan lain sebagainya yang dituangkan dalam kitab-kitab fiqh. Jadi, fiqh tertuang dalam kitab-kitab tersebut sebenarnya produk mujtahid (manusia) bukan Tuhan. Dengan demikian apa yang dipelajari dengan sebutan fiqh sebenarnya pemikiran manusia. Mempelajari fiqh sebetulnya mempelajari sejarah pemikiran manusia. Maka tidak heran apabila di sana banyak ditemukan banyak perbedaan (ikhtilaf).
Disamping itu, fiqh sebenarnya upaya manusiawi yang melibatkan proses penalaran (reasoning), baik dalam tataran teoritis maupun praktis, dalam memahami, menjabarkan, dan mengelaborasikan hukum-hukum agama. Dengan menyebut manusiawi, dimaksudkan untuk membedakan dengan syari’at, yang secara longgar dipakai untuk menyebut agama Islam dan merujuk kepada hukum Tuhan sebagaimana terkandung dalam korpus-korpus wahyu, tanpa melibatkan unsur-unsur manusia. Pendek kata, fiqh merupakan refleksi dari syari’at.
Karena sifatnya yang reflektif, dibutuhkan kemampuan kognitif guna menjabarkan teks-teks agama idealis kedalam realitas sosial yang empiris. Disinilah letak keurgensian ijtihad.Sebab fiqh timbul dari hasil ijtihad, maka diperlukan perangkat tertentu yang mengatur pencapaian produk-produk fiqh yang dikenal dengan usul fiqh (legal theory) dan qawa’id fiqhiyah (legal maxim). Yang pertama dipahami oleh para yuris muslim sebagai bangunan prinsip dan metodologi investigative yang dengannya aturan-aturan hukum prkatis memperoleh sumber-sumber partikularnya. Sedangkan yang terakhir lebih bercorak sebagai pedoman pengambilan hukum-hukum agama secara praktis, yang menentukan bentuk akhir keputusan hukum yang akan diambil jika kondisi dan persyaratan yang melatarbelakangi suatu masalah yang tadinya sudah diputuskan telah mengalami perubahan.
Paradiqma ijtihad itu dimaksudkan agar nash dan teks-teks keagamaan yang tersebar ke dalam pelbagai disiplin ilmu tafsir, fiqh, usul fiqh, dan lain-lain dipahami secara kontekstual. Sebab seringkali teks-teks tersebut ibarat barang “barang mati” dan “barang langit” yang tidak lagi applicable di tengah-tengah masyarakat. Padahal syari’at Islam itu sebagaimana dalam wacana yang dimaklumi akan selalu sesuai dengan setiap masa dan tempat (al-Syari’ah al-Islamiyah salihah li kulli zaman wa makan). Persoalannya tiada lain karena teks keagamaan tersebut tidak dapat disentuh (entouchable) apalagi dikritik.
Dalam rangka usaha untuk menjawab tantangan di atas, salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan cara merombak paradigma berfiqh yang lama (seperti yang telah mengungkung pemikiran umat Islam selama ini), kemudian merumuskan sebuah paradigma baru dalam berfiqh.
Ada lima ciri “paradigma berfiqh baru” yang nampaknya dapat dipertimbangkan: Pertama, Selalu diupayakan interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqh untuk mencari konteksnya yang baru. Kedua, Adanya orientasi perubahan dalam bermazhab, dari bermazahab secara tekstual (mazhab qauli) ke mazhab secara metodolgis (mazhab manhaji). Ketiga, Verifikasi mendasar mana ajaran pokok (usul) dan mana yang cabang (furu’). Keempat, Fiqh dihadirkan sebagai sebuah etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara dan; Kelima, Pengenalan metodologi filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.
Adanya rumusan paradigma baru tersebut diharapkan akan dapat mencairkan kebekuan pikiran umat Islam (khususnya di Indonesia) dalam berfiqh. Dan mengubah paradigma lama yang selama ini mengungkung kesadaran mereka untuk melakukan pembaharuan dalam bidang hukum Islam.

Fiqh (hukum Islam) Sebagai Sebuah Etika Sosial
Dinamika berkembangnya hukum Islam dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara struktural dan kultural. Terbentuknya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang dituangkan dalam bentuk Instruksi Presiden No. I Tahun 1991 merupakan salah satu bukti adanya dinamika hukum Islam (fiqh Indonesia) secara struktural. Upaya memposisikan dan menyeragamkan hukum Islam ini, memang dipandang sebagai keberhasilan umat Islam dalam rangka memastikan sebuah ketetapan hukum dalam tata perundang-undangan negara. Namun demikian ada juga pihak yang mempunyai kekhawatiran, dengan alasan usaha tersebut justru akan mempersempit ruang gerak hukum Islam, sebab penyeragaman keputusan tersebut akan menutup peluang yang lain untuk melakukan interpretasi. Sebab karakter hukum islam memang sangat interpretable.
Tetapi upaya tersebut, sebenarnya dapat dikatakan telah membawa angin segar untuk perkembangan hukum Islam. Dimana dalam perjalanan hukum Islam telah mengalami masa stagnasi yang cukup lama. Hukum Islam yang merupakan produk pemikiran para mujtahid membeku tersimpan dalam serakan literatur-literatur fiqh. Dari masa ke masa ia semakin tereduksi peranannya dalam kehidupan masyarakat. Hukum Islam yang sebenarnya mempunyai kedudukan yang penting dan menentukan, ternyata sebagian besar kini merupakan proyeksi teoritis belaka, sebagai macam proses fosilisasi yang hampir selesai. Di sana-sini masih didapati bekas-bekasnya, tetapi dalam hampir semua manifestasi praktisnya yang masih ada, hukum Islam mengalami irrelevansi secara berangsur-angsur tetapi pasti. Soal-soal perdata telah banyak dipengaruhi, diubah, dan didesak oleh hukum perdata modern. Ketentuan-ketentuan pidananya hampir-hampir tidak diketahui orang lain.
Fenomena tersebut merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah, namun meskipun dalam praktek tidak lagi berperan seara penuh dan menyeluruh, hukum Islam masih memiliki arti besar bagi kehidupan para pemeluknya. Dimana ia turut menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan mereka, minimal dengan menetapkan apa yang harus baik dam buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan, dan larangan agama. Keseluruhan pandangan umat Islam ditentukan oleh tanggapan masing-masing atas nilai tersebut. Inilah barangkali indikasi dinamika hukum Islam secara kultural.
Bagaimanapun hukum Islam (sebagai sebuah aturan) tidak akan dapat dipisahkan dari kehidupan umat. Dia sudah menjadi hukum yang hidup inheren dalam kehidupan umat Islam, maka telah menjadi bagian dari kehidupan mereka, sehingga hukum Islam tidak lagi dirasakan sebagai norma-norma hukum yang dipaksakan dari luar diri mereka. Namun ketaatan mereka berasal dari kesadaran rasa keberagamaannya. Dengan alasan sebagai hukum yang hidup, maka hukum Islam dapat dilaksanakan bagi umat, baik di negara-negara yang umat Islamnya tergolong kelompok minoritas, Misalnya Thailand, Filipina, dan lain-lain, ataupun di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti di Indonesia. Bagi mereka hukum telah menjadi sebuah etika yang memberikan tuntunan ataupun aturan yang mereka laksanakan. Contohnya, semakin banyak wanita Islam yang menggunakan pakaian muslimah, seperti jilbab serta bentuk pakaian yang lain untuk menutupi aurat, dapat dikatakan sebagai upaya pelaksanaan hukum Islam dalam berpakaian. Begitu sikap hati-hati umat untuk mengkonsumsi berbagai produk makanan dan minuman, dan dalam menggunakan obat-obatan dan kosmetika agar tidak terjerumus ke dalam barang haram merupakan bukti kesadaran mereka dalam melaksanakan hukum di bidang ini.
Adalah suatu kewajaran adanya sikap umat Islam dalam menetapkan hukum Islam seperti disebutkan di atas. Sebab jika hukum Islam dikaji secara mendalam dan seksama, maka akan ditemui banyak aturan yang sarat dengan moralitas. Di dalamnya akan dijumpai ketentuan hukum yang benar-benar membina moralitas luhur, baik moralitas individual maupun kolektif (kelompok, masyarakat). Dalam hukum pidanan Islam misalnya, terdapat ketentuan bahwa orang yang melakukan zina (hubungan seksual di lauar nikah) diancam dengan pidana cambuk seratus kali di depan umum (Q.S. 24:2). Zina menurut ajaran Islam dinilai sebagai perbuatan keji dan merupakan jalan terburuk yang ditempuh manusia beradab (Q.S. 17:32). Makan riba dilarang karrena merupakan kezaliman terhadap kaum lemah (Q.S. 2:278—279). Hukum Islam melarang pedagang mengurangi hak pembeli, baik dalam takaran, timbangan maupun ukuran (Q.S. 11:85). Berlakunya peraturan-peraturan tersebut sangat tergantung pada kesadaran seseorang dalam beragam dan ditentukan sesuai dengan kadar ketaqwaaannya. Persoalannya adalah beberapa aturan tersebut belum diaplikasikan ke dalam sebuah peraturaan yang bersifat lengkap (ke dalam sebuah bentuk undang-undang). Sehingga tidak ada sebuah lembaga yang mengontrolnya, kecuali suatu pengontrolan yang berasal dari kesadaran diri dari setiap individu muslim.
Dapat disimpulkan, bahwa hukum Islam dalam pemberlakuannya di tengah-tengah komunitas masyarakat muslim mempunyai karakteristik tersendiri. Yaitu meskipun tidak ditampilkan ke dalam aturan hukum positif – dalam segi-segi tertentu – ia tetap menjadi hukum yang senantiasa ditaati oleh para pemeluknya. Namun sebenarnya fenomena semacam ini di satu sisi membawa dampak yang kurang baik bagi keberlangsungan kehidupan umat Islam sendiri.Alasannya: Pertama, Pelaksanaan hukum tersebut sangat tergantung dari tingkat kesadaran beragama umat Islam, Sehingga jika tingkat keberagaman mereka rendah, status hukum Islam akan tercampakkan. Kedua: akan menimbulkan rasa apatis, karena mereka tidak merasa dituntut untuk melakukan pembahruan hukum yang progresif yang seharusnya diperlukan untuk memperbaiki kualitas kehidupan dalam masyarakat dan negara.

di Tulis Oleh :
Oleh : H. M. Imdadur Rohman., SHI, MHI


FIQH SEBAGAI SEBUAH ETIKA SOSIAL 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.


Artikel Terkait

cElOTEh sObAT BLOGGER :

Ada 1
Anonymous said...
 

We are a group of volunteers and starting a new scheme in our community.
Your site offered us with valuable info to work on.
You've done an impressive job and our entire community will be grateful to you.

My blog post ... free music downloads

:cendolbig :batabig :najis :marah :repost :2thumbup :matabelo :request :babyboy1 :sorry :travel :kimpoi :ultah :rate5 :bola :kbgt :iloveindonesia :nosara :berduka :hoax :dp :cekpm :thumbup :kr :nohope :ngacir :salahkamar :cool :mewek :babyboy :babygirl :95

ASSALAMU'ALAIKUM WR WB

BLOG ini DOFOLLOW _ Berkomenarlah Yang Baik Dan Sopan Zaaaa !!
Kalo Mau Pake EMOTICONS, sObat Hanya Cukup Menulisan Kodenya Saja... !! ( :10 :11 :13 :16 - :101 / :najis :travel :rate5 ) BE A FRIENDLY !