M. Imdadur Rahman
Focus dalam karya tulis kali ini, lebih terfokus kepada tipologi epistemology Islam al-Jabiri, yaitu "kritik nalar Arab". Disini sebagaimana analisa kami, bahwa focus pembicaraan al-jabiri sebenarnya adalah nalar Arab, bukan nalar Islam. Hal ini, dikarenakan sasaran kajiannya memang tradisi Arab dan struktur nalar yang membangunnya. Namun karena Islam adalah sebagai bagian dari tradisi Arab dan dalam perkembangannya, keduanya saling mempengaruhi, maka pembicaraan mengenai jelas suatu keniscayaan, sehingga al-Jabiri ini kemudian banyak memberikan inspirasi bagi pemikir Muslim kontemporer lainnya untuk melihat kembali struktur bangunan epistemology Islam, sebagai dasar bagi bangunan ilmu-ilmu keislaman.
Sekilas Tentang Epistemologi Burha>ni>
Dalam pengertian sederhana (elementer), al-burha>n secara mantiqi> (logika) berarti aktifitas pikir yang dapat menetapkan kebenaran proposisi (qad}i>yah melalui pendekatan deduktif (al-istinta>j)) dengan cara mengaitkan proposisi satu dengan yang lain yang telah terbukti secara aksiomatik (badi>hi>). Dalam arti universal, al-burha>n berarti aktifitas intelektual untuk menetapkan suatu proposisi tertentu. Al-Ja>biri> mendekatinya melalui sistem epistemologi yang ia bangun dengan metodologi berpikir yang khas, bukan menurut terminologi mantiqi> dan juga tidak dalam pengertian umum, dan berbeda dari yang lain. Epistemologi tersebut pada abad-abad pertengahan menempati wilayah pergumulan kebudayaan Arab Islam yang mendampingi epistemologi baya>ni> dan `irfa>ni
Kehadiran epistemologi di atas, bila ditelusuri dalam wilayah kebudayaan Arab Islam dengan pendekatan komparatif, baya>ni>, atau` irfa>ni>, maka dapat ditarik benang merah bahwa epistemologi baya>ni> menekankan kajian dari teks (nas}s), ijma' dengan ijtihad sebagai referensi dasarnya dalam rangka menjustifikasi aqidah tertentu; sedangkan `irfa>ni> dibangun di atas semangat intuisi (kashshaf) yang banyak menekankan aspek kewalian (al-wila>yah) yang inheren dengan ajaran monisme atau kesatuan dengan Tuhan dan epistemologi burha>ni> menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konspetualisasi (al-h}iss, al tajribah wa muh}a>kamah 'aqli>yah).
Adalah Aristoteles orang yang pertama membangun epistemologi burhani yang populer dengan logika mantiq yang meliputi persoalan alam, manusia dan Tuhan. Aristoteles sendiri menyebut logika itu dengan metode analitik. Analisis ilmu atas prinsip dasarnya baik proporsi h}amli>yah (Categorical Proposition) maupun shart}I>yah (Hypothetical Proposition) pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan berupa aturan-aturan untuk menjaga kesalahan berpikir. Wilayah yang menjadi obyeknya meliputi 10 persoalan substansi, yang pertama dan yang sembilan adalah oksiden dengan segala derivasinya; kuantitas (panjang), kualitas, hubungan (id}afah), tempat atau ruang, waktu, kepemilikan, fiil (pasi ( infi'al (affectif) atau ilmu pengetahuan. Adapun kecakapan untuk berpikir lurus dalam penalaran dibedakan menjadi dua kegiatan: analitika dan dialektika Analitika dipakai untuk menyebut cara penalaran dan argumentasi yang berdasarkan pada pernyataan-pernyataan yang benar, akan tetapi burha>ni> adalah aktifitas berpikir secara mantiqi yang identik dengan silogisme atau al-qiya>s al-ja>mi` yang tersusun dari beberapa anasir (proposisi). Dengan demikian, burha>ni> (al-qiya>s al-'ilmi>) menekankan tiga syarat, pertama, mengetahui terma perantara yang 'illah (causa) bagi kesimpulan (ma'rifat al-hadd al-ausat} wa al-nati>jah); kedua, keserasian hubungan relasional antara terma-terma dan
kesimpulan (tarti>b al-`ala>qah bayn al-illah wa al-ma'lu>l), antara terma perantara dan kesimpulan-kesimpulan sebagai sistematika qiyas; dan ketiga, nati>jah (kesimpulan) harus muncul secara otomatis dan tidak mungkin muncul kesimpulan yang lain. Qiyas ketiga ini yang inheren dengan epistemologi burha>ni
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa logika Aristoteles lebih memperlihatkan nilai epistemologi dari pada logika formal. Demikian pula halnya dengan diskursus filsafat kita dewasa ini yang melihat persoalan alam (alam, Tuhan dan manusia) bukan lagi persoalan proposisi metafisika karena epistemologi burha>ni dikedepankan untuk menghasilkan pengetahuan yang valid dan bangunan pengetahuan yang meyakinkan tentang persoalan duniawi dan alam. Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini bisa memilah-milah masing-masing pendekatan epistemologik: baya>ni> dan `irfa>ni> karena masing-masing memiliki tipikal satu sama lain, dan epistemologi burha>ni> bisa menjadi pemoles keserasian hubungan antara kedua epistemologi di atas.
Burha>ni> dalam Akselerasi Kebudayaan Islam ; Proses Penyelarasan Metode
Dua epistemologi Islam, baya>ni> dan `irfa>ni>, adalah dua pendekatan yang mendahului epistemologi burha>ni> dalam akselerasi kebudayaan Arab Islam. Bila baya>ni> lebih menekankan metodologinya pada otoritas nas}s} dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang terwakili oleh fuqaha', dengan pembidikan wilayah eksoteris, maka `irfa>ni> terkesan berseberangan dengan baya>ni>, karena menonjolkan kajian pada garis distingtif antara realitas wujud dengan realitas mutlak yang dapat didekap dengan metodologi kashshf, dhawq, intuisi dalam menangkap apa yang ada di balik meta teks. Alasan mendasarnya, karena epistemologi `irfa>ni> lebih menekankan pada direct experience (`al-`ilm al-h}ud}u>ri>) sehingga otoritas akal menjadi tertepis karena lebih bersifat partisipatif. Wilayah cakupannya lebih identik dengan perwalian (al-wilayah(
Kedua epistemologi di atas terkesan berseberangan dalam menangkap wacana masing-masing karena perbedaan episteme. Namun demikian, episteme keduanya masih dibangun di atas nilai al-Qur'a>n dan h}adi>th. Meskipun epistemologi Islam di satu pihak membahas masalah-masalah epistemologi pada umumnya, tetapi di lain pihak, dalam arti khusus filsafat Islam juga menyangkut pembicaraan mengenai wahyu dan ilham sebagai sumber pengetahuan dalam Islam; wahyu sebagai sumber primer, sedangkan ilham pengetahuan bagi epistemologi `irfa>ni>. Poeradi Sastra --sebagaimana dikutip oleh M. Amin-- membagi tingkat epistemologi Islam antara lain: (1) perenungan (contemplation) tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan di dalam al-Qur'a>n al-Kari>m; (2) penginderaan (sensation); (3) pencerapan (perception); (4) penyajian (representation); (5) konsep (concept); (6) timbangan (judgement); dan (7) penalaran (reasoning)
Dalam tradisi Arab Islam, logika bahasa atau logika baya>ni> sudah bukan lagi sekedar kaidah bahasa, melainkan telah menjadi metode dalam berpikir. Karena itu, kedatangan logika Aristoteles dianggap sebagai tandingan bagi logika bahasa dan merupakan ancaman bagi ulama nahwu. Perdebatan sengit antara Abu> Sa'i>d al-Si>rafi>, seorang ahli nahwu, dengan Abi> Bishr Matta>`, seorang ahli logika yang terjadi sesudah masa al-Kindy dapat dijadikan sampel bagi hilangnya keselarasan kedua logika tersebut
Al-Farabi mencoba membangun konsep yang menyeluruh dalam upayanya untuk menyelaraskan hubungan antara baya>ni> sebagai motode dan visi di satu sisi, dengan burha>ni> sebagai metode dan visi di sisi lain, yakni keselaran antara Nahwu dengan logika dan antara filsafat dan agama.
Burha>ni>: Kontribusinya Terhadap Baya>ni> & `Irfa>ni>
Epistemologi burha>ni> sebagai sebuah pendekatan telah tertepis dari akselerasi budaya Arab Islam karena pengaruh al-Ghaza>li> yang hanya menempatkan aspek akal sebagai media untuk beristidla>l dengan yang sha>hid dengan yang ghayb. Bahkan al-Ghaza>li> dalam pembahasannya banyak mensintesisikan dalam tiga epstemologi (baya>ni>, `irfa>ni> dan burha>ni>). Epistemologi baya>ni> mampu menjadi pembuka pintu bagi `irfa>ni> (menurut tasawuf sunni) dan membuka epistemologi burha>ni
metode muta'akhirin yang telah terasimilasi dan terakulturasi dengan persoalan filsafat, dan kalam) sedangkan `irfa>ni> mampu menjadi jembatan bagi baya>ni dengan mengambil makna eksoteris dalam bangunan syari'ah menurut Ibnu `Arabi yang ditekankan oleh kalangan sufi. Sedangkan pada burha>ni> (fungsi Hermes yang merujuk pada sistem berpikir Aristoteles) yaitu, aktifitas yang berjalan dalam epistemologi `irfa>ni> visi Isma>'ili>yah kemudian diadopsi oleh Ibnu Arabi dalam `irfa>ni> sufi yang dijadikan alas bangunan tasawuf batini seperti tokoh sezamannya (al-Suhrawardi, al-H{alabi>) membentuk madhhab lain yang didasarkan pada filsafat illuminatif yang masih hidup di Iran sampai sekarang. Maka, fungsi asimilasi antara sistem ketiga epistemologi selalu disertai dengan aktifitas untuk mengembalikan dasar pijakan. Mengembalikan dasar pijakan baya>ni> dan keserasian hubungannya dengan burha>ni> dari sini dapat dipetakan menjadi dua: pertama, bentuk formal yang bersifat general tentang yang disebut asimilasi seperti yang dikaji dalam diskursus kalam; kedua, upaya mengembalikan bangunan pemikirannya menurut ruang lingkup yang meliputi beberapa aspek kajian.
Browse » Beranda
»
Artikel Islam
» Membangun Epistemologi Islami (Burhani & Irfani) ; Penyelarasan Metodologi Dalam Perspektif Al-Jabiri
Tuesday, 27 July 2010
Membangun Epistemologi Islami (Burhani & Irfani) ; Penyelarasan Metodologi Dalam Perspektif Al-Jabiri
:
Membangun Epistemologi Islami (Burhani & Irfani) ; Penyelarasan Metodologi Dalam Perspektif Al-Jabiri
9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
cElOTEh sObAT BLOGGER :
ASSALAMU'ALAIKUM WR WB
BLOG ini DOFOLLOW _ Berkomenarlah Yang Baik Dan Sopan Zaaaa !!
Kalo Mau Pake EMOTICONS, sObat Hanya Cukup Menulisan Kodenya Saja... !! ( :10 :11 :13 :16 - :101 / :najis :travel :rate5 ) BE A FRIENDLY !