A.
PENDAHULUAN
Islam
diciptakan sebagai agama yang bisa menaungi seluruh umat Islam, atau bisa
disebut dengan agama rahmatan lil 'alamin, yang bisa memberi kesejukan
dan keharmonisan dalam kehidupan. Dari sisi lain Islam akan tercoreng di mata
umat Islam sendiri jikalau mereka saling merugikan satu sama lainnya, hal ini
jelas berupa suatu kepentingan yang menguntungkan salah satu pihak, semua orang
mempunyai hak untuk berbuat, tapi sampai mana hak itu dapat dilakukannya, dalam
ilmu fiqh ada yang dikenal dengan Ta'assuf fi al-Isti'mal al-haq, dalam
pembahasan tersebut banyak dijelaskan mengenai persoalan hak, bagaimana
menggunakannya dan lain sebagaianya, hal tersebut bertujuan agar orang Islam
bisa menggunakan hak dan menghindarkan diri dari perbuatan yang merugikan
hak-hak orang lain
Dalam
makalah kali ini, penulis akan mencoba memaparkan beberapa persoalan yang
dianggap sebagai Ta'assuf dalam menggunakan hak, seperti dalam persoalan
ta'liq talak dan mahar yang seringkali terlihat adanya sesuatu yang tidak wajar
dan merugikan salah satu pihak di dalamnya,
B.
PEMBAHASAN
1.
Ta'assuf dalam masalah Ta'liq Talaq
Ucapan talaq itu bermacam-macam
menurut yang mengikrarkan talaq. Ada
talaq yang jatuh ketika suami mengucapkan talaq, ada yang
digantungkan dengan suatu syarat, ada pula yang disandarkan pada waktu yang
akan datang.
Talaq yang langsung jatuh yaitu talaq
yang diucapkan tanpa syarat apapun, tidak disandarkan pada waktu yang akan
datang. Misalnya suami berkata kepada istrinya; "Engkau saya talaq",
maka talaq itu jatuh pada saat diucapkan.
Yang menjadi permasalahannya
atau yang dikatakan sebagai ta'assuf dalam menggunakan hak adalah ketika
seorang suami yang mana mempunyai hak penuh dalam ta'liq talaq, mengucapkan
ta'liq talaqnya dengan tujuan mempermainkan atau dengan seenaknya
sendiri kepada istrinya, yakni menggantungkan talaqnya dengan sesuatu
yang dianggap merugikan istrinya misalnya suami berkata kepada istrinya:
"Apabila engkau membebaskan utang nafkahku kepadamu, maka jatuh talaq
saya atas dirimu." Dan lain sebagainya. Berikut akan kami jelaskan secara
singkat mengenai ta'liq talaq yang seharusnya dilakukan seorang suami
tanpa harus merugikan pihak istri, beserta pandangan dari beberapa Ulama'.
Talaq mu'allaq atau talaq yang
tergantung, adalah talaq yang diucapkan suami dengan suatu syarat,
misalnya suami mengatakan kepada istrinya: "Kalau saya pergi meninggalkan
engkau sekian tahun, maka jatuh talaq saya atas dirimu." Sahnya ta'liq
talaq itu harus memenuhi syarat:
a. Harus
disandarkan pada sesuatu yang belum ada tetapi akan ada. Apabila digantungkan
atas perkara yang telah ada, maka talaqnya jatuh pada saat ta'liq
diucapkan. Misalnya seseorang mengatakan: "kalau matahari terbit engkau
bertalaq," padahal matahari sudah terbit, maka jatuh talaqnya,
meskipun dalam bentuk ta'liq (digantungkan). Apabila digantungkan kepada
sesuatu yang mustahil, dianggap main-main, misalnya suami berkata kepada
istrinya: "Kalau ada onta yang dapat meneobos lubang jarum, maka engkau
saya talaq."
b. Sewaktu
ta;liq talaq diucapkan, perempuan yang akan ditalaq itu masih
dalam ikatan perkawinan dan masih dalam kekuasaan suaminya.
c. Suami yang
menggantungkan adalah suami sah dan yang akan ditalaq adalah istrinya.
Ta'liq ada dua macam: Pertama,
yang dimaksudkan seperti sumpah untuk melakaukan sesuatu atau meninggalkan
sesuatu. Ta'liq ini dinamakan ta'liq qasami atau ta'liq
sumpah. Misalnya seorang suami berkata kepada istrinya: "kalau kamu pergi,
maka jatuh talaq saya atas kamu." Maksud ucapan itu adalah melarang
istri berpergian, bukan jatuhnya talaq.
Kedua, yang dimaksudkan adalah
jatuhnya talaq, apabila syaratnya terpenuhi, namanya ta'liq sharti,
misalnya suami berkata kepada istrinya: "Apabila engkau membebaskan utang
nafkahku kepadamu, maka jatuh talaq saya atas dirimu."
Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu
Qayyim mempunyai pendapat yang rinci mengenai masalah ini, keduanya
berpendapat: Talaq mu'allaq yang di dalamnya ada unsur sumpah
tidak jatuh dan wajib membayar kifarat (denda) apabila sumpahnya tidak
dipenuhi. Yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian,
kalau tidak mampu supaya berpuasa selama tiga hari.
Kedua imam di atas berpendapat
bahwa talaq itu jatuh apabila yang digantungkan itu telah ada. Menurut
Ibnu Taimiyah ucapan untuk menjatuhkan talaq itu ada tiga macam:
a. Dengan cara
langsung misalnya "Engkau saya cerai."
b. Dengan
ucapan ta'liq, misalnya "Kalau engkau berbuat demikian, maka engkau
saya talaq." dan
c. Dengan sighat
ta'liq, misalnya dengan ucapan "Kalau saya berbuat demikian, maka talaq
saya jatuh atas istri saya."
Apabila ucapan itu dimaksudkan
untuk sumpah bukan untuk menjatuhkan talaq atau enggan mentalaq,
dianggap sebagai sumpah dan hukumnya seperti hukum ta;liq yang pertama, yaitu
sumpah, menurut kesepakatan ahli fiqh.
Sighat ta'liq yang
disandarkan pada waktu yang akan datang, yaitu yang terikat dengan waktu,
dengan maksud akan menceraikan apabila datang waktunya, misalnya suami berkata
"Engkau saya talaq nanti akhir tahun," maka talaqnya
jatuh setelah datangnya akhir tahun, apabila saat itu si istri masih menjadi
miliknya.
Apabila seorang suami berkata
kepada istrinya; "Engkau saya talaq pada akhir tahun ini,"
menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, talaqnya jatuh pada saat ia
mengucapkan.
Sebagaimana dikatakan dalam
madhhab Abu Hanifah bahwasanya:[1]
التَّعْلِيقُ
كَمَا فِي الْقَامُوسِ مِنْ عَلَّقَهُ تَعْلِيقًا جَعَلَهُ مُعَلَّقًا , وَفِي
الِاصْطِلَاحِ هُوَ رَبْطُ حُصُولِ مَضْمُونِ جُمْلَةٍ بِحُصُولِ مَضْمُونِ
جُمْلَةٍ أُخْرَى
وَلَوْ
قَالَ : أَنْتِ طَالِقٌ غَدًا وَقَعَ عَلَيْهَا الطَّلَاقُ بِطُلُوعِ الْفَجْرِ )
لِأَنَّهُ وَصَفَهَا بِالطَّلَاقِ فِي جَمِيعِ الْغَدِ وَذَلِكَ بِوُقُوعِهِ فِي
أَوَّلِ جُزْءٍ مِنْهُ . وَلَوْ نَوَى بِهِ آخِرَ النَّهَارِ صُدِّقَ دِيَانَةً
لَا قَضَاءً لِأَنَّهُ نَوَى التَّخْصِيصَ فِي الْعُمُومِ , وَهُوَ يَحْتَمِلُهُ
لَكِنَّهُ مُخَالِفٌ لِلظَّاهِرِ ( وَلَوْ قَالَ : أَنْتِ طَالِقٌ الْيَوْمَ غَدًا
أَوْ غَدًا الْيَوْمَ يُؤْخَذُ بِأَوَّلِ الْوَقْتَيْنِ الَّذِي تَفَوَّهَ بِهِ )
فَيَقَعَ فِي الْأَوَّلِ فِي الْيَوْمِ وَفِي الثَّانِي فِي الْغَدِ , لِأَنَّهُ
لَمَّا قَالَ : الْيَوْمَ كَانَ تَنْجِيزًا وَالْمُنَجَّزُ لَا يَحْتَمِلُ
الْإِضَافَةَ , وَإِذَا قَالَ : غَدًا
كَانَ إضَافَةً وَالْمُضَافُ لَا يَتَنَجَّزُ لِمَا فِيهِ مِنْ إبْطَالِ
الْإِضَافَةِ فَلَغَا اللَّفْظُ الثَّانِي فِي الْفَص
Sedangkan menurut Al-Shafi'i dan
imam Ahmad berkata: Talaqnya belum jatuh sampai habisnya tahun. Sebagaimana
yang direpresentasikan dalam salah satu kitab Shafi'iiyah dikatakan;[2]
(فَصْلٌ ) فِي تَعْلِيقِ الطَّلَاقِ بِالْأَوْقَاتِ وَمَا يُذْكَرُ
مَعَهُ ( قَالَ : أَنْتِ طَالِقٌ فِي شَهْرِ كَذَا أَوْ فِي غُرَّتِهِ ) أَوْ
رَأْسِهِ (أَوْ أَوَّلِهِ ) أَوْ
دُخُولِهِ أَوْ مَجِيئِهِ أَوْ ابْتِدَائِهِ أَوْ اسْتِقْبَالِهِ أَوْ أَوَّلِ
آخِرِ أَوَّلِهِ ( وَقَعَ ) الطَّلَاقُ ( بِأَوَّلِ جُزْءٍ ) مِنْ اللَّيْلَةِ الْأُولَى ( مِنْهُ ) أَيْ مَعَهُ
لِتَحَقُّقِ الِاسْمِ بِأَوَّلِ جُزْءٍ مِنْهُ وَوَجْهُهُ فِي شَهْرِ كَذَا أَنَّ
الْمَعْنَى إذَا جَاءَ شَهْرُ كَذَا وَمَجِيئُهُ يَتَحَقَّقُ بِمَجِيءِ أَوَّلِ
جُزْءٍ مِنْهُ وَالِاعْتِبَارُ فِي دُخُولِهِ بِبَلَدِ التَّعْلِيقِ , فَلَوْ
عَلَّقَ بِبَلَدِهِ وَانْتَقَلَ إلَى أُخْرَى وَرَأَى فِيهَا الْهِلَالَ
وَتَبَيَّنَ أَنَّهُ لَمْ يُرَ فِي تِلْكَ لَمْ يَقَعْ الطَّلَاقُ بِذَلِكَ ,
قَالَهُ الزَّرْكَشِيُّ , وَظَاهِرُهُ كَمَا قَالَ شَيْخُنَا أَنَّ مَحَلَّهُ إذَا
اخْتَلَفَتْ الْمَطَالِعُ آخِرِهِ ) أَيْ شَهْرِ كَذَا أَوْ سَلَخَهُ ( فَبِآخِرِ
جُزْءٍ مِنْ الشَّهْرِ ) تَطْلُقُ فِي الْأَصَحِّ ( وَقِيلَ ) تَطْلُقُ (
بِأَوَّلِ النِّصْفِ
الْآخَرِ ) مِنْهُ إذْ كُلُّهُ آخِرُ الشَّهْرِ فَيَقَعُ بِأَوَّلِهِ , وَرُدَّ
بِسَبْقِ الْأَوَّلِ إلَى الْفَهْمِ .
Sedangkan, menurut Imam Ahmad,
sebagaimana dalam salah satu kitab cabang dari madhhab Hanbali dikatakan:[3]
قَوْلُهُ ( فَصْلٌ فِي مَسَائِلَ
مُتَفَرِّقَةٍ ) ( إذَا قَالَ : أَنْتِ طَالِقٌ إذَا رَأَيْتِ الْهِلَالَ :
طَلُقَتْ إذَا رُئِيَ ) أَوْ أَكْمَلَتْ الْعِدَّةَ ( إلَّا أَنْ يَنْوِيَ
حَقِيقَةَ رُؤْيَتِهَا , فَلَا يَحْنَثُ حَتَّى تَرَاهُ ) , إذَا نَوَى حَقِيقَةَ
رُؤْيَتِهَا لَمْ يَحْنَثْ حَتَّى تَرَاهُ , بِلَا نِزَاعٍ أَعْلَمُهُ ,
وَيُدَيَّنُ بِلَا نِزَاعٍ , وَيُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي الْحُكْمِ , عَلَى
الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ مُطْلَقًا , قَالَ فِي الْفُرُوعِ : قُبِلَ حُكْمًا
عَلَى الْأَصَحِّ , وَجَزَمَ بِهِ فِي الْمُغْنِي , وَالشَّرْحِ , وَالْوَجِيزِ
وَغَيْرِهِمْ , وَصَحَّحَهُ فِي الْمُذْهَبِ , وَعَنْهُ : لَا يُقْبَلُ ,
وَأَطْلَقَهُمَا فِي الْهِدَايَةِ , وَالْخُلَاصَةِ , وَالرِّعَايَتَيْنِ ,
وَالْحَاوِي الصَّغِيرِ , وَالْمُسْتَوْعِبِ , وَقِيلَ : يُقْبَلُ بِقَرِينَةٍ .
Ibnu Hazm berkata: kalau seorang
suami berkata kepada istrinya: Apabila datang akhir bulan, maka engkau saya talaq"
atau dengan menyebutkan waktu tertentu, perempuan itu tidak tertalaq,
tidak pada saat suaminya mengucapkan ataupun pada akhir bulan. Alasannya. Tidak
ada dalil dari Al-Quran maupun sunnah mengenai jatuhnya talaq yang
demikian.
Allah mengajarkan kepada kita
bahwa talaq itu hanya dijatuhkan atas istri yang sudah dikumpuli atau yang
belum. Dan masalah menggantungkan talaq dengan waktu tertentu, termasuk
yang tidak diajarkan Allah kepada kita. Melanggar atau melampaui batas yang
telah ditetapkan Allah berarti menganiaya diri atau lebih jelasnya kita sebut
sebagai Ta'assuf fi al-Isti'mal al-Haq. Demikian juga apabila talaq
yang digantungkan (ta'liq talaq) tidak jatuh pada saat diucapkan, maka
mustahil pula kalau talak itu dapat jatuh dilain waktu.
2.
Ta'assuf dalam masalah mahar
Dibeberapa daerah di Indonesia,
diantaranya di daerah Cimahi Jawa Barat, ada sekelompok masyarakat yang dalam
hal mahar perkawinan menggunakan aturaj mahar minimal harus berupa emas sebesar
kurang lebih 10 Gram dan sejumlah uang sebesar 4 juta, sehingga masyarakat
miskin sulit menjangkau untuk bisa memberi mahar karena keadaan ekonomi
yanglemah. Hal seperti ini juga terjadi di sebagaian wilayah Negara Arab Saudi.
Padahal hal itu sama sekali bukan merupakan aturan-aturan yang terdapat dalam
Islam, sehingga dapat kita katakan sebagai perbuatan Ta'assuf. Akibatnya,
justru batasan mahar tersebut membuka peluang bagi seseorang untuk melakukan
perzinaan yang jelas-jelas diharamkan oleh agama.
Di sini akan diperjelas aturan
sebenarnya mengenai batasan mahar yang harus diberikan kepada istri dalam
perkawinan sehingga peluang untuk ta'assuf itu hilang sama sekali.
a. Pendapat
Imam Shafi'i
Batasan minimal mahar adalah
barang yang dipandang mempunyai nilai harga bagi manusia dan kalau dirusakkan
ada nilai gantu rugi baginya, serta dapat diperjualbelikan, hal ini terdapat
dalam kitabnya "al-Umm";
فاقلّ
مايجوز في المهر اقلّ ما يتموّل الناس وما لو استهلكه رجل لرجل كانت له قيمة وما
يتبايعه الناس بينهم[4]
Hal
ini berdasarkan hadis Rasul :
–
عن ابن عباس قال :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (انكحوا الايامى) ثلاثاً قيل : ما العلائق بينهم يارسول الله :
ما تراضى عليه الأهلون (رواه الدرقطنى)[5]
–
وَأُحِلَّ لَكُمْ
مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ[7]
b. Pendapat
Imam Malik
Batasan minimal mahar adalah ¼
dinar, hal ini sebagaimana dalam kitabnya "al-Muwatta'";
لاارى
ان تنكح المرأة باقل من ربع دينارٍ وذلك ادنى مايجب فيه القطع[8]
Imam Malik berpendapat seperti
itu, karena Imam Malik menyatakan bahwa dalam perkawinan terdapat anggota tubuh
yang dihalalkan karena harta, oleh karenanya mahar harus ditentukan batas
(terendahnya) sebagaimana adanya batasan (terendah) harta yang dicari untuk
dapat menghalalkan adanya hukuman potong tangan dalam Sariqah.
¼ dinar, sama dengan 3 dirham. 1
dirham = 1,12 Gram emas, maka 3 dirham adalah sama dengan sebesar 3,36 gram
emas murni.
c. Pendapat
Ulama' Hanafiyyah dan Abu Hanifah.
Batasan minimal mahar adalah 10
dirham[9] atau
kurang lebih 11,2 gram emas murni. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi;
لا
صداق دون عشرة دراهم[10]
Hadis ini menurut sebagian besar
para Ulama' adalah daif, seandainya sahih, maka akan menghapus ikhtilaf
diantara Ulama' tentang batasan minimal mahar dalam perkawinan.
d. Pendapat
Ulama' Hanabilah
Pendapat mereka sama dengan argument
yang dinyatakan oleh Imam Shafi'i dan Shafi'iyyah.
C.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas,
dapat diperjelas bahwasanya mengikuti aturan yang telah baku, baik dalam
penafsiran maupun hukum, akan menghindarkan kita dari perbuatan yang dalam ilmu
fiqh disebut dengan Ta'assuf fi isti'mal al-Haq, yaitu menjauhkan diri
dari perbuatan yang dirasa akan merugikan salah satu pihak, sebagaimana contoh,
dalam persoalan ta'liq talaq, seorang istrilah yang sangat dirugikan karena
perbuatan suami yang merasa mempunyai hak untuk menjatuhkan talak, begitu juga
dalam persoalan mahar, yang terjadi di salah satu daerah di Indonesia,
pembatasan mahar yang dilakukan oleh kalangan tersebut justru akan membuka
jalan untuk berbuat dosa sedangkan dalam hukum yang baku (fiqh) sudah
diperjelas berapa jumlah mahar yang harus diberikan oleh seorang suami kepada
istrinya.
بسم الله الرحمن الرحيم
والله
اعلم باالصواب .....
[1] Muhammad bin Muhammad bin Mahmud
al-Babarti, al-'Inayah Sharh
al-Hidayah.
[2] Muhammad bin Ahmad al-Sharbayni,
Mughni al-Muhtaj ila Ma'rifati alfad al-Minhaj.
[3] 'Ali bin Sulaiman bin Ahmad al-Mardawi, Al-Ansaf.
[4] Al-Shafi'i, al-Umm, Vol
V, hal, 63.
[5] Al-Daruqutny, Sunan
al-Daruqutni, Vol, II, hal 151.
[6] Al-Bukhari, Sahih Bukhari,
Vol, III, hal. 250
[7] Q.s. al-Nisa' ; 24
[8] Malik Bin Anas, al-Muwatta',
hal 334
[9] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh
ala Madzhahib al-arba'ah, Vol, IV, hal. 90
[10] Al-Daruqutny, Sunan
al-Daruqutni, Vol, II, hal 151.
TA'ASSUF FI AL-ISTI'MAL AL-HAQ | Ta'assuf dalam masalah Ta'liq Talaq Dan Mahar
9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
betmatik
kralbet
betpark
tipobet
slot siteleri
kibris bahis siteleri
poker siteleri
bonus veren siteler
mobil ödeme bahis
1GWYNN
ardahan
artvin
aydın
bağcılar
balıkesir
İM7TK8