1. TARIQAH SHATTARIYYAH; MELACAK AKAR HISTORIS
Secara kelembagaan, tarekat pada dasarnya tidak dikenal dalam Islam hingga abad ke-8 h atau abad ke-14 M. artinya tarekat sebagai oranisasi dalam dunia tasawuf, dapat diannggap sebagai hal baru yang tidak pernah dijumpai dalam tradisi Islam periode awal, termasuk pada masa Nabi. Tidak heran kemudian jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu dinisbatkan keapda nama-nama para wali atau Ulama' belakangan yang hidup berabad-abad jauh setelah masa lalu.[1]
Tarekat Qadiriyah misalnya, dinisbatkan kepada Shaykh 'Abd al-Qadir al-Jilani (471-561 H/1079-1166 M), Tarekat Suhrawardiyyah dinisbatkan kepada Syihab al-Din Abu Hafs, al-Suhrawardi (539-632 H/1145-1235 M), Tarekat Rifa'iyah dinisbatkan kepada Ahmad bin 'Ali Abu al-Abbas al-Rifaiyyah (w. 578H/1182 M), tarekat Shaziliyyah dinisbatkan kepada Abu al-Hasan Ahmad bin 'Abd Allah al-Shazili (593-656 H/1197-1258 M), Tarekat Naqsabandiyah dinisbatkan kepada Baha' al-Din al-Naqsaband (717-791 H/1317-1389 M).[2]
Demikian halnya dengan tarekat Shattariyyah; nama Shattariyyah dinisbatkan kepada Shaykh 'Abd Allah al-Syaththari (w.890 H/1485 M), seorang 'Ulama' yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh, 'Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M), Ulama' sufi yang mempopulerkan tarekat Surhawardiyyah, sebuah tarekat yang awalnya didirikan oleh pamannya sendiri, Diya' al-Din Abu Najib al-Suhrawardi (490-563 H/1079-1168 M). tarekat Shattariyyah ini diperkenalkannya di India oleh Beliau dengan menelusuri Lembah Gangga dengan berpakaian seperti seorang raja dengan pengikut-pengikut yang berpakaian yang seragam, membawa bendera dan memukul genderang untuk mendakwakan ajarannya.[3]
Jika ditelusuri lebih awal lagi, tarekat ini sesungguhnya memiliki akar keterkaitan dengan tradisi Transoxiana, karena silsilahnya terhubungkan dengan Abu Yazid al-Isyqi, yang terhubungkan lagi kepada Abu Yazid al-Busthami (w. 260 H/873 M) dan Imam Ja'far al-Shadiq (w. 146 H/763 M). tidak mengherankan kemudian jika tarekat ini dikenal dengan nama tarekat Isqiyyah di Iran atau tarekat Bistamiyah di Turki Uthmani, yang sekitar abad ke-5 cukup popular di wilayah Asia Tengah, sebelum akhirnya memudar dan pengaruhnya digantikan oleh tarekat Naqsabandiyah.
Tarekat 'Isqiyyah atau Bistamiyyah tersebut mengalami kebangkitannya kembali setelah Syah 'Abd Allah al-Shattar mengembangkannya diwilayah India, dan menyebutnya sebagai Tarekat Shattariyyah. Sejak itu, tarekat Shattariyyah selalu dihubungkan dengan jenis tasawuf India, kendati nama Abu Yazid al-'Isyqi dan Abu Yazid al-Bustami tetap menjadi sandaran dalam tradisi silsilahnya untuk menghubungkan sampai kepada Imam Ja'far al-Shadiq dan akhirnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam konteks India sendiri, tarekat Shattariyyah –seperti halnya juga tarekat lain yang berakar di India yaitu tarekat Chistiyyah, tarekat Suhrawardiyyah,[4] tarekat Firdausiyyah, dan tarekat Qadiriyah –muncul ketika berbagai gerakan keagamaan lebih memfokuskan misinya untuk melakukan ekspansi dakwah Islam kepada kalangan non Muslim. Di India, gerakan ekspansi semacam ini merupakan pariode awal dari keseluruhan gerakan keagamaan yang oleh para sarjana, umumnya dibagi kedalam empat kategori; pertama; gerakan "ekspansi" keagamaan dan kemasyarakatan, yang terjadi sekitar abad 6 H/12 M hingga abad 10 H/16 M, kedua; gerakan "reformasi" keagamaan dan kemasyarakatan yang terjadi sekitar abad 11 H/17 M, ketiga; masa "regenerasi" yang terjadi pada awal abad 12 H/18 m, dan terakhir adlah masa "reorientasi" yang terjadi pada abad 19.
Sebagai sebuah gerakan ekspansi keagamaan, tarekat Shattariyyah pada periode ini lebih diarahkan pada perjuangan untuk meningkatkan nilai moral dan spiritual melalui penyebaran berbagai ajaran Islam. Dan dalam upayanya ini, Syah 'Abd Allah al-Shattar berserta para pengikutnya mengembangkan kecenderungan untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan tradisi dan ritual masyarakat setempat yang masih banyak dipengaruhi ajaran ritual Hindu.
Memang, di satu sisi sikap akomodatif para penganut tarekat Shattariyyah seperti ini lebih mudah menarik perhatian nonmuslim untuk memeluk ajaran Islam, dan bahkan dianggap sebagai kunci sukses berkembangnya ajaran tarekat. Akan tetapi, disisi lain, hal ini juga mengakibatkan banyaknya konsep-konsep tasaeuf dan ritual tarekat yang bersifat sinkretis serta memiliki persamaan dengan konsep-konsep dan ritual Hindu.
Syah 'Abd Allah al-Shattar sendiri, sebagai pendiri tarekat Shattariyyah menetap di Mandu, sebuah desa di India bagian Tengah, dimana ia mendirikan khanqah pertama bagi para penganut tarekat Shattariyyah. Ia diketahui menulis sebuah kitab yang berjudul Lata'if Al-Gaibiyyah, tentang prinsi-prinsi ajaran-ajaran tarekat Shattariyyah yang disebutnya sebagai cara tercepat untuk mencapai tingkat ma'rifah.[5] Karyanya ini kemudia disempurnakan oleh dua murid utamanya, Shaykh Muhammad 'Ala, yang dikenal sebagai Shaykh Qadi Bengal (Qazam Shattai) dan Shaykh Hafiz Jaqnpur. Yang disebut terakhir tercatat sebagai murid Syah 'Abd Allah yang berjasa mengembangkan silsilah tarekat Shattariyyah di India bagian Utara melalui muridnya, Syak Budhdhan. Belakangan, murid spiritual dari Shaykh Budhdhan ini, yakni Shaykh Baha' al-Din, menulis pula sebuah kitab berjudul Risalah Shattariyyah, yang berisi tentang prinsip-prinsip ajaran tarekat Shattariyyah.
2. PETUMBUHAN TARIQAH SHATTARIYYAH DI DUNIA MELAYU – INDONESIA DAN TOKOHNYA
Tarekat sufi dimulai sekitar abad ke-12. dan garis silsilah khusus mengambil nama-nama orang-orang suci utama yang dihargai sebagai pendiri tarekat ini. Salah satu bentuk tarekat yang muncul agak awal adalah tarekat Shattariyyah, pada abad ke-16,[6] namanya disandarkan kepada nama "Abdullah Shattari (w. 1428), yang berasal dari Asia Tengah dan Iran, dan dikembangkan di India, dimana Shattariyyah memimpin perkumpulan yang dekat dengan kerajaan Mughol. [7]
Selanjutnya, tarekat Shattariyyah berkembang ke Asia Selatan dan Arab. Bentuk khusus dicirikan dengan ketertarikan yang kuat kepada formula-formula meditasi yang bahkan meliputi nama-nama ketuhanan yang bukan berasal dari bahasa Arab, tapi berasal dari bahasa Persia dan Bahasa Inggris.[8] Teks yang diterjemahkan disini, adalah ciri contoh-contoh praktik Shattariyyah, yaitu menekankan kepada pembacaan dzikir nama-nama ketuhanan, manifestasi kualitas-kualitas ketuhanan dalam bentuk manusia dan teknik meditasi control pernafasan, dan penggambaran.
Dalam perkembangan yang selanjutnya, tarekat ini berkembang pesat dan banyak dikenal sampai sekarang, terutama dikawasan Aceh Indonesia dibandingkan di Negara-negara lainnya. Tasawwuf merupakan satu-satunya pelajaran agama yang banyak digemari masyarakat Aceh. Salah satu 'Ulama' dalam bidang tasawwuf adalah Syekh Abdur Ra'uf Singkel bin 'Ali al-Fansuri atau disebut juga dengan Syekh Abdur Ra'uf Shi'ah Kuala (Singkel, 1035 H/1615 M – Banda Aceh 1105 H/1693 M). 'Ulama' besar dan tokoh tasawwuf dari Aceh yang pertama kali membawa dan mengembangkan Tareqat Shattariyyah di Indonesia.[9]
3. AJARAN ZIKIR TAREKAT SHATTARIYYAH
Dalam kitab al-Simt al-Majid, Shaykh Ahmad al-Qusyasyi, guru dari pada Abdul Rauf singkel, beliau adalah seorang khalifah daripada tarekat Shattariyyah di Makkah, menjelaskan berbagai tuntutan dan ajaran bagi para penganut tarekat, termasuk didalamnya tarekat Shattariyyah, kitab ini berisi aturan dan tata tertib menjadi anggota tarekat serta berisi tntutan tentang tata cara zikirnya.
Menurut al-Qusyasyi, gerbang pertama bagi seseorang untuk masuk kedunia tarekat adalah baiat dan talqin. Oleh karenanya, dalam kitab ini, al-Qusyasyi menjelaskan secara detail tata cara baiat dan talqin tersebut. Bahkan al-Qusyasyi membedakan antara tata cara baiat bagi laki-laki, perempuan dan anak-anak.
Begitu juga dengan ajaran tarekat yang dikemukakan oleh Abdul Rauf singkel dalam kitabnya Tanbih al-Masyi dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian. Penyucian hati, sebagai tahap pertama tarekat Shattariyyah, oleh Abdu Rauf diuraikan dalam sepuluh martabat, yang dalam setiap martabatnya terdiri atas sepuluh martabat pula, sehingga berjumlah seratus martabat.[10] Sistematika seratus martabat ini, tampaknya dikutip sepenuhnya oleh 'Abdur Rauf dari kitab Manazil al-Sairin Ila Rabb al-'Alamin kalangan al-Harawi[11]. Seluruh martabat mulai dari martabat pertama, al-Yaqzah (bangun/sadar) hingga martabat terakhir, yakni martabat tauhid (mengesakan Allah) pada dasarnya mengandung ajaran untuk mawas diri, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu, membersihkan hati dari ikatan keduaniaan, serta penyerahan total kepada Allah SWT. Untuk sampai kepada zat al-Haq yang menjadi tujuan tasawuf, seorang salik harus menjalani seluruh martabat tersebut.
Zikir dianggap sebagai pintu gerbang utama untuk mencapai penghayatan ma'rifah pada al-Haq. Oleh karena itu, dalam ajaran tasawuf, terutama setelah munculnya berbagai tarekat, tata cara zikir beserta aturan-aturan wiridnya memegang peranan sentral yang mewarnai dan menjadi cirri pembeda antara satu tarekat dengan tarekat yang lainnya.
Dalam Tanbih al-Masyi, Abdurrauf menegaskan bahwa zikir merupakan cara yang paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah, paling mudah dilakukan dan paling baik dihadapan Allah. Zikir yang dianjurkan oleh abdurrauf antara lain adalah bacaan tahlil, la ilaha Illa Allah. ia mengutip dua buah hadith Nabi saw;
افضل الدعاء دعاء يوم عرفة وافضل ما قلت انا والنبيون من قبلى لا اله الا الله وحده لا شريك له
Beliau menganjurkan kepada para muridnya agar mengamalkan zikir la ilaha Illa Allah secara continue dan menenggelamkan hati didalamnya hingga mereka dapat merasakan manfaat atau buahnya yang tak terbatas. Salah satu dampak positif dari zikir la ilaha Illa Allah tercermin dalam sebuah hadith yang dikutip oleh abdurrauf;[12]
مفتاح الجنة لا اله الا الله
Abdul Rauf singkel ini menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah SWT. Alam ciptaannya adalah wujud bayangan, yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda dengan wujud bayangan (alam), terdapat keserupaan antara kedua wujud ini. Tuhan merupakan "Tajalli" (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan secara tidak langsung tampak pada manusia dan secara relative paling sempurna pada "Insan Kamil" .
[1] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama' Timur Tengah dan Keulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung; Mizan, 1994), 109.
[2] Rivzi, S.A.A., A History Of Sufism in India, vol. 2 (New Delhi; Munshiram Manoharlal, 1983), 84-88
[3] Syafiq A. Mughni, Dinamika Intelektual Islam Pada Abad Kegelapan (Surabaya; LPAM, 2002), 65.
[4] J. Spencer Trimingham, The Sufi Order In Islam (London; Oxford New York, 1973), 96-97.
[5] Ibid., 153-154.
[6] Annimarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1986), 367-368.
[7] Carl W. Ernst, Mozaik Ajaran Tasawuf (Jakarta; RajaGrafindo Persada, 1999), 59.
[8] Ibid., 59
[9] Quraish Shihab et. al., Ensiklopedi Islam (Jakarta; Ikrar Mandiriabadi, 1999), 29.
[10] Tentang penyucian hati dalam dunia tasawuf, dikenal juga konsep maqamat (tahapan-tahapan) yang dikemukakan oleh Zunnun al-Misri, yaitu taubah, Wara', Zuhud, Farq, Sabar, Tawakkal dan ridha. Tahapan-tahapan ini ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai ketingkat melihat Tuhan dengan mata hati, dan akhirnya bersatu dengan-Nya.
[11] Nama lengkapnya adalah Abu Isma'il 'Abdullah Ibn Muhammad al-Ansariy al-Harawiy (1005-1088). Ia lahir dan wafat di Herat (sekarang terletak diwilayah Afghanistan Utara), ia dikenal sebagai seorang ahli fikih Hambali dan penggagas alliran pembaharuan dalam tasawwuf.
[12] Oman Fathurrahman, Tanbih al-Masyi; Menyoal Wahdatul Wujud, (Jakarta; Mizan, 1999), 69-70.
TARIQAH SHATTARIYYAH; MELACAK AKAR HISTORIS
9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
cElOTEh sObAT BLOGGER :
ASSALAMU'ALAIKUM WR WB
BLOG ini DOFOLLOW _ Berkomenarlah Yang Baik Dan Sopan Zaaaa !!
Kalo Mau Pake EMOTICONS, sObat Hanya Cukup Menulisan Kodenya Saja... !! ( :10 :11 :13 :16 - :101 / :najis :travel :rate5 ) BE A FRIENDLY !