Untuk melihat dari dekat pembaharuan pemikiran hukum Islam Ibrahim Hosen, penulis mencoba mengawali dari pengertian yang diberikan oleh Ibrahim Hosen terhadap shari>'ah dan Fiqh. Ibrahim Hosen melihat, bahwa antara fiqh dan shari>'ah itu berbeda.
Berdasarkan teori ushul fiqh, Ibrahim Hosen mengklasifikasikan hukum Islam menjadi dua, yaitu Hukum Islam kategori shari>'ah dan Hukum Islam kategori Fiqh. Shari>'ah adalah Hukum Islam yang dijelaskan secara tegas di dalam al-Qur'a>n atau sunnah yang tidak mengandung penafsiran atau penakwilan. Sedangkan fiqh adalah hukum Islam yang tidak atau belum ditegaskan oleh nash al-Qur'a>n dan sunnah dimana hal itu baru diketahui melalui ijtihad. Dari segi status dan penerapan antara shari>'ah dan fiqh tidak sama. Shari>'ah statusnya qat'i> sedangkan fiqh statusnya zanni>.[1]
Kategori yang termasuk dalam hukum Islam shari>'ah (qat'i>) adalah ma> 'ulima> min al-di>n bi al-d}aru>rah (sesuatu yang diketahui dari agama secara pasti) dan Mujma' alai>h (yang disepakati 'Ulama>'). Sedangkan hukum Islam kategori fiqh (zanni>) adalah hukum-hukum yang ditetapkan melalui ijtihad bi al-ra'yi> (ijtihad dengan akal) dalam arti luas.[2]
Menurut Ibrahim Hosen, Hukum Islam yang berstatus shari>'ah (Qat'i>) jumlahnya relative sedikit dibandingkan dengan Hukum Islam kategori fiqh. Sebab wahyu telah terputus dengan wafatnya Rasulullah saw. Sementara itu persoalan baru terus bermunculan dan hal ini harus dijawab oleh ijtihad.[3] Contoh shari>'ah, misalnya, shalat lima waktu, puasa, zakat, haji, keharaman makan bangkai dan darah, durhaka kepada kedua orang tua, dan lain sebagainya. Contoh daripada fiqh, misalnya hal-hal yang berkenaan dengan teknis dan pelaksanaan ibadah-ibadah wajib diatas, batas-batas menutup aurat, masalah asuransi dan lain sebagainya.
Berdasarkan klasifikasi ini, Ibrahim Hosen menyatakan bahwa Hukum Islam kategori syari'ah tidak diperlukan ijtihad karena kebenarannya bersifat absolute, tidak bisa dikurangi dan ditambah. Dari segi penerapan, situasi dan kondisi harus tunduk kepadanya, ia berlaku umum tidak mengenal waktu dan tempat. Sedangkan kategori fiqh kebenarannya relative, ia benar tetapi mengandung kemungkinan salah atau salah tetapi mengandung kemungkinan benar. Dan dari segi aplikasi, fiqh justru harus sejalan dengan atau mengikuti kondisi dan situasi, untuk siapa dan dimana ia akan diterapkan. Disebut sebagai kebenaran nisbi, sebab merupakan z}ann seorang Mujtahid mengenai hukum sesuatu yang dianggapnya sebagai hukum Allah melalui ijtihad. Seraya tetap harus sejalan dengan tujuan dan semangat Hukum Islam, yaitu menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan.[4]
Dan pada fiqh inilah pembaruan Hukum Islam dilakukan. Ibrahim Hosen melihat, bahwa pembaruan Hukum Islam dilakukan berdasarkan minimal tiga alasan. Pertama, setelah agak lama ide pembaruan itu menggelora, ternyata belum ditemukan adanya patokan-patokan konkrit dari para pencetus gagasan yang mungkin dapat dijadikan landasan merealisir ide yang menarik itu. Kedua, dari para tokoh Islam yang mereka tampilkan seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani ternyata juga tidak meninggalkan patokan-patokan itu. bahkan tidak ada kreasi baru dari mereka yang ada relevansinya dengan ide pembaruan. Ketiga, banyaknya pertanyaan terutama dari kalangan awam yan dialamatkan kepada Ibrahim Hosen sehubungan dengan pencanangan ide dan gagasan itu.[5]
Sebelum melakukan pembaruan, Ibrahim Hosen menyatakan ada prinsip dasar yang perlu diluruskan dan dimantapkan terlebih dahulu. Beberapa prinsip dasar itu adalah; eksistensi berbagai agama, Islam agama dakwah, dan hubungan Muslim dengan non-Muslim. Antara lain;[6]
1. Eksistensi Berbagai Agama
Perbedaan-perbedaan agama didunia dilihat sebagai ketentuan Allah atau Sunnatullah, adalah wakar kalau dibumi ini kita dapati berbagai macam agama dan paham. Sebab Allah sendiri tidak menghendaki manusia seluruhnya ini berada dibwah panji-panji din al-Islam. Hal ini telah nyata ditetapkan dalam al-Qur'an Surat Yunus ayat 99, Hud 118 dan al-Nahl ayat 93. disinilah dibedakan antara perintah dan kehendak. Seluruh manusia diperintahkan Allah beriman, tetapi tidak semua dikehendaki untuk beriman. Atas dasar semua ini, hendaknya toleransi dan kerukunan umat beragama harus ditegakkan.
2. Islam Agama Dakwah
Adanya berbagai agama membawa konsekwensi perlu diciptakannya toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Toleransi dan kerukunan akan dapat dicitakan apabila penyebaran agama Islam dilakukan melalui dakwah, tidak dengan paksaan atau kekerasan. Oleh karena itu sesuai dengan namanya "Islam" yang berarti damai serta sesuai dengan misi Islam yaitu "rahmat al-alami>n" maka penyebaran Islam dilakukan dengan jalan damai dan dakwah.
3. Hubungan Muslim Dengan Non-Muslim
Sebagai kelanjutan dari Islam sebagai agama dakwah dengan menciptakan toleransi dan kerukunan, maka hubungan yang dibangun adalah hungungan kedamaian adalah tidak konsekwen kalau Islam telah mendudukkan dirinya sebagai agama dakwah, tetapi dalam hubungannya dengan non-Muslim, Islam memproklamirkan permusuhan.
Sebagai ajaran samawi, hukum Islam dengan kedua macamnya itu mempunyai sifat dan karakteristik yang sangat umum berbeda dengan hukum budaya (hukum wad'i,> produk manusia). Antara lain;[7]
1. Hukum Islam adalah serentetan peraturan yang digunakan untuk beribadah. Malaksanakannya meruakan suatu ketaatan yang pelakunya berhak mendapat pahala dan meninggalkannya atau menyalahinya merupakan suatu kemaksiatan yang pelakunya akan dibalas dengan siksaan di akhirat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur'an Surat adz-Z}ariyat ayat 56. beribadah kepada Allah adalah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Ini berarti Hukum Islam adalah ibadah. Jika hukum wad'i dilanggar, dapat saja sipelaku terlepas dari hukuman yang diancamkan kepadanya. Namun jika dia melanggar hukum Islam, maka dia tetap diancam oleh hukuman di akhirat (jika tidak bertobat). Sebab pada prinsipnya, balasan – baik berupa pahala maupun siksa – dalam konteks Hukum Islam itu bersifat ukhrawi. Sekalipun demikian, didalam Hukum Islam ditetapkan sejumlah hukuman, baik yang sudah ditetapkan kadarnya (h}udud) maupun yang sudah diserahkan kepada Ulil Amri (ta'zir).
2. Kepatuhan kepada Hukum Islam merupakan tolak ukur keimanan seseorang. Mengenai hal ini Allah menegaskan dalam surah al-Nisa' 65.
Sifat kedua ini tidak dapat dipisahkan dari sifat yang pertama, pengklasifikasian disini, disamping sebagai penguat sifat yang pertama, sekadar untuk membedakan aspek mana yang ingin ditekankan.
3. Hukum Islam bersifat Ijabi> dan Salbi>, artinya hukum Islam itu memerintahkan, mendorong dan menganjurkan melakukan perbuatan ma'ruf (baik) serta melarang perbuatan munkar dan segala macam kemudharatan. Berbeda dengan hukum wad'i>, aspek Ijabi> dalam Hukum Islam lebih dominant. Hal ini mengingat bahwa tujuan utama pensyari'atan Hukum Islam adalah mendatangkan, menciptakan dan memelihara kemaslahatan bagi umat manusia. Sedangkan aspek Salbi>, yang bertujuan menghindari kemudharatan dan kerusakan, sebenarnya telah tercakup didalamnya. Perlu pula dikemukakan pula bahwa kemaslahatan individu dan masyarakat haruslah berimbang. Artinya kemaslahatan individu bukan sekedar tujuan sampingan, yang hanya diperhatikan juka membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
4. Hukum Islam tidak hanya berisi perintah dan larangan, tetapi juga berisi ajaran-ajaran untuk membentuk pribadi-pribadi Muslim sejati, berakhlak mulia, berhati suci, berjiwa tinggi serta mempunyai kesadaran akan segala tanggung jawab. Termasuk didalamnya kewajiban menjalin hubungan yang erat dan harmonis antar sesama manusia dan sang khaliknya dengan cara yang sangat sempurna.
Lanjut beliau, pembicaraan tentang fungsi Hukum Islam bagi umat Islam tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang pengertian dan karakteristik Hukum Islam itu sendiri. Bahkan secara tersirat, beberapa fungsi itu telah termasuk dalam pembahasan tersebut, walaupun fungsi Hukum Islam itu cukup banyak jumlahnya, beberapa diantaranya adalah;[8]
1. Fugsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah. Hukum Islam adalah ajaran Tuhan yang harus dipatuhi umat manusia dan kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang. Sebagai implementasinya, setiap pelaksana hukum Islam diberi pahal, sedangkan pelanggarnya diancam dengan siksaan.
2. Fungsi Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Sebagaimana dikemukakan, hukum Islam telah ada eksis mendahului masyarakat, karena ia adalah kalam Allah yang qadim. Sungguhpun demikian, dalam praktekya, hukum Islam tetap bersentuhan dengan masyarakat. Proses pengharaman hukum riba dan khamr, misalnya jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetap hukum (Allah) dengan subjek dan objek hukum (Perbuatan Mukallaf). Penetapan hukum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya. Riba dan Khamr tidak diharamkan secara sekaligus, tetapi secara bertahap. Penetapan hukum menyadari bahwa hukum tidak bersifat elitis dan melangit. Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetapan hukum sangat menyadari bahwa cukup riskan kalau riba dan khamr diharamkan secara sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan khamr.
Berkaca dari episode pengharaman riba dan khamr, akan tetapi akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi pula sebagai salah satu sarana pengendali social (control social). Kita sulit membayangkan apa yang akan terjadi jika hukum riba dan khamr dipaksakan. Hukum Islam tidak hanya untuk hukum Islam. Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak dilecehkan dan tali kendali social terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba dan khamr memang hanya menimpa pada pelakunya. Namun, secara tidak langsung, lingkunganpun ikut terancam bahaya tersebut.
Oleh karena itu, kita memahami fungsi control social yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamr. Fungsi ini dapat disebut dengan Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Dari fungsi ini akan tercapai tujuan hukum Islam (Maqasid al-Syari'ah), yaitu mendatangkan (menciptakan) kemaslahatan menghindari kemudharatan (Jalbu> al-Mas}a>lih wa Daf'u al-Mafa>sid). Kemaslahatan dan kemudharatan disini mencakup kemudharatan didunia dan di akhirat.
3. Fungsi Zawa>jir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman, hukuman atau sangsi hukum. Qisas-diyat diterapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa atau badan, Hudud untuk tindak pidana tertentu (pencurian, perzinaan, qadhaf, h}ira>bah dan riddah), dan ta'zir untuk tindak pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Ta'zir juga diterapkan untuk pelanggaran terhadap hukum Islam yang tidak ada ketentuan sangsi hukumnya dalam al-Qura>n dan H{adi>th.
Adanya sangsi hukum mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi hukum ini dapat kita namakan dengan Zawa>jir. Sebagaimana fungsi kedua, fungsi inipun dapat merealisasikan tujuan hukum Islam, Jalbu al-Mas}a>lih wa Daf'u al-Mafa>sid.
4. Fungsi Tanz}i>m wa Is}lah al-Ummah
Fungsi hukum Islam keempat adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi social sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera (Baldatun T{ayyibatun Wa Rabbun Ghafu>r). Dalam hal-hal tertentu, hukum Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam hukum yang berkenaan dengan masalah perkawinan dan kewarisan. Sedangkan dalam masalah-masalah yang lain, yakni masalah Mu'amalah, pada umumnya hukum Islam hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya. Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang masing-masing dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi hukum ini dapat kita sebut dengan Tanz}i>m wa Is}lah al-Ummah.
Berkaitan dengan fungsi-fungsi hukum diatas, satu yang perlu dicatat adalah bahwa keempat fungsi Hukum Islam tersebut tidak bisa dipilah-pilah begitu saja untuk bidang tertentu. Keempat fungsi itu saling mengait. Fungsi pertama yaitu fugsi ibadah, bukan hanya tidak dapat dipilah atau dipisahkan dari ketiga fungsi lainnya, tetapi ia senantiasa ada dalam setiap bidang hukum. Sementara itu, ketiga fungsi yang lainnya dapat dipilah atau dibedakan. Riba dan Khamr tidak hanya memiliki fungsi control social, tetapi juga memiliki fungsi "memaksa untuk melindungi" dan fungsi "Intraksi social". Begitu juga masalah pidana dan mu'amalah lainnya. Pengklasifikasian satu fungsi kedalam bidang hukum tertentu seperti disajukan diatas hanya untuk memudahkan dan menyederhanakan. Disamping tidak dapat dipilah-pilah secara ekstrim juga tidak bisa ditentukan, fungsi manakah yang leih utama. Hal ini bergantung pada sudut pandang ahli hukum Islam dan kasus yang dihadapi. Hukuman bagi pencuri memiliki fungsi memaksa untuk melindungi warga. Tetapi, pada masa pemerintahannya Khalifah Umar, tidak menerapkan hukuman potong tangan pada seseorang yang terpaksa mencuri pada musim paceklik. Boleh jadi, kasus ini, Khalifah 'Umar memandang fungsi kontrol sosial yang lebih dominan.
1. FATWA-FATWANYA
Ibrahim Hosen adaLah seorang 'Ulama' yang cukup produktif dalam mengemukakan pemikiran hukum (fatwa). Beberapa fatwa yang pernah dikemukakan diantaranya adalah bahwa Negara atau pemerintaha RI termasuk kategori negara atau pemerintahan Islam; memberikan landasan Islami tentang keabsahan UUD 45 dan pancasila; mempelopori kebolehan atau sahnya perempuan menjadi Hakim; berpendapat bahwa bir bukan termasuk minuman yang diharamkan; KB tidak bertentangan dengan Islam, justru dianjurkan; Memodernisir pendayagunaan zakat dengan dua cara, Pertama. Penyaluran zakat diorientasikan untuk hal yang bersifat produktif, Kedua, memperluas pengertian sabilillah, bukan saja sukarelawan perang tapi semua aktifitas yang dimaksudkan untuk kemaslahatan. Ibrahim Hosen juga meluruskan kriteria Maysir atau judi; menjernihkan makanan dan minman yang mengandung lemak babi. Ia juga turut membidangi lahirnya KHI. Serta ia juga berpendaapt bahwa penderita AIDS harus di-Euthanasia.
[1] Panitia Penyusun Biografi Prof. KH. Ibrahim Hosen, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta; CV. Tiga Sembilan, 1990, 103-104.
[2] Ibrahim Hosen, Fiqh Siyasah Dalam Tradisi Pemikiran Islam Klasik, dalam jurnal Ulumul Qur'an, 59
[3] Jalaluddin Rahmat, Ijtihad Dalam Sorotan, Jakarta; Mizan, 1996, h. 25
[4] Ibid. h. 59
[5] Ibrahim Hosen, Kerangka Landasan Pemikiran Islam, dalam Mimbar Ulama, tahun IX No. 91/Februari-Maret/1985, h. 4
[6] Panitia Penyusun Biografi Prof. KH. Ibrahim Hosen, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta; CV. Tiga Sembilan, 1990, 113
[7] Amrullah Ahmad, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta; Gema Insani Press, 1996, h. 87-98
[8] Ibid., h. 89-90
Tema Pemikiran Hukum Islam IBRAHIM HOSEN
9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
cElOTEh sObAT BLOGGER :
ASSALAMU'ALAIKUM WR WB
BLOG ini DOFOLLOW _ Berkomenarlah Yang Baik Dan Sopan Zaaaa !!
Kalo Mau Pake EMOTICONS, sObat Hanya Cukup Menulisan Kodenya Saja... !! ( :10 :11 :13 :16 - :101 / :najis :travel :rate5 ) BE A FRIENDLY !